Posted tagged ‘Bahasa Hukum’

BERITA: Bahasa Hukum Tidak Lugas dan Multitafsir

9 November 2010

Penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang hukum sampai saat ini masih jauh dari harapan. Bahasa Indonesia yang dituangkan dalam peraturan perundangan dan berbagai putusan di bidang hukum kerap mengundang multitafsir dan tak lugas. Hal itu terjadi karena para pembuat aturan dan penegak hukum tak menguasai bahasa Indonesia secara baik.
Di samping itu, minimnya padanan kosakata bahasa Indonesia membuat berbagai dokumen hukum yang ada masih menggunakan bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Belanda.

Untuk itu, para pakar bahasa Indonesia dan pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk merumuskan bahasa hukum yang baku, lugas, singkat, modern, dan mudah dicerna secara jelas, tegas dan tepat.

Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun SP dari pakar hukum perdata Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Bayu Seto Subroto, pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Syafruddin Kalo, pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Soma Wijaya, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta, pakar hukum perdata USU, Prof Dr Tan Kamelo, dan mantan hakim konstitusi Laica Marzuki, baru-baru ini, terkait peringatan 82 tahun Sumpah Pemuda.

Menurut Bayu Seto, peraturan yang multitafsir merupakan gambaran dari kelemahan penguasaan bahasa Indonesia oleh para pembuat aturan dan penegak hukum. Salah satu contohnya adalah putusan hakim yang sering menimbulkan ketidakpastian bagi para pihak yang berperkara. “Keputusan hakim malah menimbulkan perdebatan lebih lanjut. Seharusnya hakim, jaksa, dan pengacara bisa merumuskan semua tuntutan, pandangan, pertahanannya, dalam bahasa Indonesia yang baik dan tidak menimbulkan banyak interpretasi,” tegasnya.

Ketidakmampuan menggunakan bahasa Indonesia juga tampak dalam proses legislasi atau pembuatan produk hukum “Kalau masih ada peraturan yang multitafsir berarti penguasaan bahasanya yang perlu diperhatikan,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan itu, kata Bayu, mahasiswa hukum di kampusnya diwajibkan mengambil mata kuliah bahasa Indonesia dan kemahiran hukum. Mahasiswa diajarkan dasar-dasar penulisan akademik yang benar, dari sisi gramatikal, tata kalimat, serta memahami makna dari kata-kata kunci. Meski masih dianggap kurang, penambahan mata kuliah itu akan membuat lulusannya lebih paham bahasa hukum. “Pendidikan tinggi bidang hukum harus memandang bahasa Indonesia setara dengan bahasa asing. Dengan demikian diharapkan setiap produk hukum bisa mengandung kepastian dan keadilan,” tegasnya.

Sejarah
Senada dengannya, pakar pidana Syafruddin Kalo menilai peranan bahasa Indonesia di bidang hukum masih jauh dari harapan. Dia tidak memungkiri hal tersebut dilatarbelakangi sejarah panjang hukum Indonesia yang mengadopsi hukum Belanda, yang tak lepas dari sistem hukum Romawi. Akibatnya, muncul istilah-istilah hukum yang tidak ditemukan dalam kosakata bahasa Indonesia.

Istilah register dalam pidana kehutanan, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Demikian juga dengan kata merampas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ”Dalam bahasa Belanda, merampas artinya merampok. Tetapi apa bisa dikatakan bahwa negara adalah perampok saat hukum menentukan barang bukti dirampas untuk negara? Kan berbeda maknanya,” tuturnya.

Belum lagi istilah bahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang muncul mengikuti perkembangan zaman. Istilah whistle blower yang muncul dalam kasus mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji. ”Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti whistle blower adalah meniup peluit. Tetapi dalam hukum, tidak ada istilah begitu. Apa meniup peluit bisa dipenjara? Jadi banyak istilah hukum asing yang tidak bisa diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia,” kata guru besar Fakultas Hukum USU ini.

Terkait hal itu, dia berharap pakar bahasa Indonesia bisa selalu mengikuti perkembangan bahasa hukum di negara lain dan mencari padanannya yang tepat, sehingga kosakata bahasa hukum menjadi lebih banyak.

Sedangkan, Soma Wijaya mengatakan penggunaan bahasa Indonesia memang kurang diperhatikan dalam membentuk peraturan perundangan. Hal itu tak lepas dari bahasa hukum yang kerap mempunyai makna yang berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. “Sering ada istilah yang tidak tepat. Untuk itu diperlukan mata kuliah terminologi hukum dalam upaya menerjemahkan istilah hukum agar bisa dibakukan,” katanya.

Hal yang sama disampaikan Frans Hendra Winarta. Menurutnya, penggunaan bahasa Indonesia di bidang hukum masih harus diperbaiki dan disempurnakan lagi. Kebanyakan bahasa hukum baku masih menggunakan istilah asing yang diambil dari bahasa Belanda dan Inggris. Penyebabnya, istilah hukum yang menggunakan kata-kata asing sering kali tidak ada atau sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Sementara, penggunaan kata-kata bahasa Indonesia dalam bahasa hukum juga sering kali tidak tegas dan multitafsir. Akibatnya, dalam praktik kerap terjadi ketidakpastian dan perbedaan penafsiran yang memunculkan polemik hukum.

“Pembuat UU ataupun perjanjian masih sering mengacu pada bahasa Indonesia lama yang kaku dan kuno dan mengacu pada istilah asing. Karena itu, kita harus membuat terobosan dengan mencari bahasa hukum yang baku, lugas, singkat, modern, dan mudah dicerna secara jelas, tegas dan tepat,” ujarnya.

Seiring dengan pesatnya perkembangan hukum nasional, Frans mengusulkan agar pemerintah memperbanyak buku-buku yang memuat istilah-istilah hukum terbaru, baik melalui kamus hukum dan juga buku panduan hukum praktis. Buku-buku itu bisa digunakan, baik oleh praktisi hukum, akademisi, mahasiswa, maupun masyarakat luas. Selain itu, akses untuk mendapatkan informasi atau kamus hukum baku juga harus diperluas dan dipermudah.
Pada kesempatan itu, Frans menuturkan hukum Indonesia yang cenderung mengikuti common law Inggris dan Amerika, harus diikuti dengan pencarian padanan kata yang cocok, sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda yang berdampak pada persoalan hukum.

Bahasa hukum, seharusnya cuma memiliki tujuan, arti, dan implikasi yang sempit. Tujuannya agar tidak terjadi salah tafsir dari suatu perjanjian atau suatu peraturan yang dibuat. Kata-katanya harus tersusun secara jelas dan tegas, serta memberikan gambaran suatu kondisi hukum yang terjadi dan/atau yang mungkin terjadi, sehingga berbagai penyimpangan dapat diminimalisasi.

Makna
“Selain bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, bahasa Indonesia mutlak diajarkan di fakultas hukum, terutama pada jurusan yang mencetak legal drafter. Jika seorang sarjana hukum memiliki penguasaan. bahasa Indonesia maupun bahasa asing yang baik, tingkat pemahaman dan kompetensi pengetahuan hukumnya pasti lebih baik,” ujar Frans.
Sementara itu, Tan Kamelo mengakui bahasa Indonesia memang wajib diajarkan di fakultas hukum. Namun, dia mengingatkan agar pengajaran bahasa Indonesia bukan melulu pada struktur bahasa, tetapi juga makna yang sesuai konteks. Dia mencontohkan penggunaan kata ulang. Dalam struktur bahasa Indonesia, kata berulang diartikan dilakukan beberapa kali. Namun dalam bahasa hukum, belum tentu diartikan begitu, bergantung pada kalimatnya.
”Memang bahasa Indonesia diperlukan mahasiswa fakultas hukum. Tapi bukan mempelajari bagaimana struktur kalimat, seperti zaman sekolah dulu, melainkan membahas bagaimana memaknai bahasa hukum. Memahami hukum bukan hanya dengan membaca undang-undang, melainkan memaknainya secara hukum pula,” ujarnya.

Laica Marzuki pun menyatakan penggunaan bahasa Indonesia dalam bahasa hukum memang belum memadai dan belum secara lengkap memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.” Ini kendala utamanya. Kita harus terus berupaya menyempurnakannya,” kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar ini.

Selain itu, lanjutnya, bahasa Indonesia selain menjadi bahasa hukum, juga harus menjadi bahasa profesi hukum. Untuk itu, bahasa Indonesia sangat penting sekali diajarkan di fakultas hukum. Pengajarnya harus lulusan sastra Indonesia, sehingga mahasiswa hukum tahu cara yang benar menggunakan bahasa hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.

“Jika semua pihak, baik pemerintah, DPR, akademisi, praktisi hukum, maupun masyarakat, mau terus bekerja keras, bukan tidak mungkin semua bahasa hukum yang digunakan sehari-hari nantinya hanya mengacu dan berlandaskan pada bahasa Indonesia saja. Dengan demikian, bahasa hukum mudah dimengerti dan masyarakat juga menjadi melek hukum,” katanya.

(Suara Pembaruan, 26 Oktober 2010)