Archive for the ‘REFERENSI’ category

SAYEMBARA MENULIS KRITIK PUISI KSI AWARD 2013

19 April 2013

Dalam rangka memeriahkan Hari Puisi Indonesia (HPI) pada 26 Juli 2013 sekaligus menyambut hari ulang tahun ke-17 Komunitas Sastra Indonesia (KSI), KSI menyelenggarakan Sayembara Menulis Kritik Puisi KSI Award 2013.

Persyaratan
1.Terbuka untuk umum dan anggota KSI, termasuk anggota KSI yang bukunya dijadikan salah satu materi kritik selama dia tidak mengritik karyanya sendiri (tidak mempengaruhi penilaian).
2.Mengritik kumpulan puisi tunggal karya anggota KSI (daftar buku terlampir).
3.Naskah diketik dalam 2 (dua) spasi dengan Times New Roman, Font 12, panjang naskah 8-20 halaman kuarto, dan dilampiri cover buku yang dikritik.
4.Baik naskah yang belum maupun yang sudah dipublikasikan dalam bentuk apa pun boleh diikutsertakan.
5.Naskah diterima paling lambat 15 Mei 2013.
6.Naskah dikirim melalui pos elektronik ke ksastraindonesia@yahoo.co.id dengan CC ke bwdwidi@yahoo.com.
7.Dewan juri, yang terdiri atas Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (Universitas Indonesia), Prof. Drs. Maman S. Mahayana, M.Hum. (Hankuk University, Korea Selatan), serta Ahmadun Yosi Herfanda (KSI), akan menilai dan menentukan 1 (satu) kritikus peraih KSI Award 2013 dan 4 (empat) kritikus unggulan serta sejumlah naskah pilihan yang akan dibukukan.
8.Peraih KSI Award 2013 dan 4 (empat) kritikus unggulan akan menerima hadiah berupa piagam penghargaan, cenderamata, dan uang tunai.
9.Pengumuman pemenang dilaksanakan pada peringatan Hari Puisi Indonesia, 26 Juli 2013, di Jakarta.

Jakarta, Januari 2013
PANITIA SAYEMBARA MENULIS
KRITIK PUISI KSI AWARD 2013

Daftar Sebagian Buku yang Disayembarakan
1.Memuja di Tahta Langit, Shobir Poer (Dewan Kesenian Tangsel, 2013). Kontak permintaan/pembelian buku: 0817126993.
2.Langit Pilihan, Eka Budianta (Kosa Kata Kita, 2012). Kontak permintaan/pembelian buku: 08159707263.
3.Musim Hujan Datang di Hari Jumat, Mustofa W. Hasyim (Penerbit Madah, 2012). Kontak permintaan/pembelian buku: 087839613231.
4.Tembang Tembakau, Jumari HS (KPK, 2012). Kontak permintaan/pembelian buku: 085225147311.
5.Derai Hujan Tak Lerai, Nanang Suryadi (nulisbuku.com, 2012). Kontak permintaan/pembelian buku: 087884246262.
6.Surau Kecil Berdinding Bilik, Teteng Jumara (Yudha Pratama Mandiri, 2012). Kontak permintaan/pembelian buku: 08179169806.
7.Jazirah Api, Hasan Bisri BFC (Pustaka KSI, 2011). Kontak permintaan/pembelian buku: 0818988613.
8.Bulan di Pucuk Embun, Dinullah Rayes (Penerbit Ombak, 2011). Kontak permintaan/pembelian buku: 081339513893.
9.Bungkam Mata Gergaji, Ali Syamsudin Arsi (Framepublishing, 2011). Kontak permintaan/pembelian buku: 081351696235.
10.Serumpun Ayat-Ayat Tuhan, Iberamsyah Barbary (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru/KSSB, 2011). Kontak permintaan/pembelian buku: 081381667070.
11.Perempuan yang Mencari, Diah Hadaning (Pustaka Yashiba, 2010). Kontak permintaan/pembelian buku: 08561381893.
12.Lumpur di Mulutmu, Endang Supriyadi (Penerbit Yashiba, 2010). Kontak permintaan/pembelian buku: 08128556494.
13.Hikayat Kata, Bambang Widiatmoko (Penerbit Gama Media, 2010). Kontak permintaan/pembelian buku: 08122786397.
14.Airmata Tuhan, Medy Loekito (Bukupop, 2009). Kontak permintaan/pembelian buku: 0811164310.
15.Tanah Airku Melayu, Fakhrunnas MA Jabbar (Adi Cita-Balai Pengembangan Kebudayaan Melayu, 2009). Kontak permintaan/pembelian buku: 08127532100.
16.Anggur Duka, Arsyad Indradi (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru/KSSB, 2009). Kontak permintaan/pembelian buku: 081351696235.
17.Meditasi Rindu, Micky Hidayat (Tahura Media, 2008). Kontak permintaan/pembelian buku: 082149652892.
18.Nyanyian Sepasang Daun Waru, Thomas Budi Santosa (IndonesiaTera, 2007). Kontak permintaaan/pembelian buku: 085225147311.
19.Sukma Silam, Budhi Setyawan (Kacarara, 2007). Kontak permintaaan/pembelian buku: 08158030529.
20.Romansa Pemintal Benang, Husnul Khuluqi (Komite Sastra Dewan Kesenian Tangerang & KSI, 2006). Kontak permintaan/pembelian buku: 081286078246.
21.Perawan Mencuri Tuhan, Amien Wangsitalaja (Pustaka Sufi, 2004). Kontak permintaan/pembelian buku: 085348859414/08164282866.
22.Silir Pulau Dewata, Tajuddin A. Bacco (Grafika Indah, 2003). Kontak permintaan/pembelian buku: 082158919945.
23.South Bank & Air Mata, Viddy AD (Visi Amansentosa Dahsyat, 1996). Kontak permintaan/pembelian buku: 08561310996.

SELAIN BUKU-BUKU DI ATAS, PESERTA SAYEMBARA DIPERBOLEHKAN MENGRITIK BUKU KUMPULAN PUISI TUNGGAL KARYA ANGGOTA KSI YANG LAIN.

ESAI: Korupsi Kata

31 Oktober 2011

Iwan Gunadi

Peminat Bahasa Indonesia

Melalui  lagu bertitel “Aku Padamu”, Charly ST 12 berulang-ulang melantunkan dua baris lirik /Biarkanlah saja semua berkata tidak/Yang penting aku padamu/.” Klausa “aku padamu”, baik pada judul maupun lirik, seperti ingin menabalkan kecenderungan pelesapan kata yang sering terjadi pada masyarakat ketika berbahasa. Karena diasumsikan para penyimak lagu dari album Pangeran Cinta tersebut telah memafhumi maksudnya, sebagai penggubah, Charly mungkin merasa tak perlu lagi mencantumkan fungsi predikat yang lazim hadir pada kontruksi klausa seperti itu. Pada baris-baris lirik sebelumnya, dia memang menuliskan kalimat-kalimat secara lengkap. Tak ada kata yang dibuang.

Perbedaan apa yang dilakukan Charly dengan banyak pengguna bahasa Indonesia yang lain mungkin terletak pada faktor kesengajaan. Charly mungkin melakukannya secara sadar dan terukur. Di sisi lain, kalau lirik lagu ditempatkan sebagai karya sastra dalam wujud puisi, kesengajaan itu akan disahkan banyak pihak. Kalaupun pada baris-baris lirik sebelumnya, Charly tak memberikan pembayangan bagaimana mengisi ruang kosong di antara kata aku dan padamu, konstruksi klausa itu tak akan terlalu dipersoalkan. Para pengusung faham pentingnya keambiguan dalam karya sastra akan menilai konstruksi klausa itu telah merayakan faham tersebut atau sekurangnya berpotensi mengarah ke sana.

Sementara, banyak pengguna bahasa Indonesia yang lain mungkin melakukan pelesapan kata dalam suatu kontruksi frase, klausa, atau kalimat tertentu lantaran khilaf. Atau, boleh jadi, mereka tidak khilaf, tapi tak menyadari bahwa wilayah berbahasa mereka tak sama dengan wilayah berbahasa Charly. Wilayah berbahasa mereka menuntut cara berbahasa yang lugas, terang, dan lengkap supaya informasi yang ingin disampaikan tidak bias.

Karena tak menyadari medan berbahasa, dengan enteng, mereka merasa cukup mengucap atau menulis kata asing sebagai ajektiva untuk maksud frase pihak asing sebagai nomina. Sesuai dengan konteks wacananya, kata pihak tersebut bisa merujuk ke berbagai hal: investor, perusahaan, produk, negara, dan sebagainya. Tapi, anehnya, ketika rujukannya adalah orang, pengguna bahasa Indonesia yang terbiasa melesapkan kata itu mengucap atau menulisnya secara lengkap: orang asing.

Ada sejumlah kata lain yang setara dengan kata asing yang juga sering diperlakukan sama, yakni awam, internal, dan swasta. Orang awam atau masyarakat awam cukup diucap atau ditulis dengan awam. Pihak internal atau kalangan internal hanya diwaliki dengan internal. Begitu juga dengan swasta. Bukan pihak swasta, kalangan swasta, atau perusahaan swasta, kecuali sekolah swasta atau guru (sekolah) swasta. Yang lebih langka disebutkan secara lengkap adalah frase pihak manajemen untuk maksud personalia manajemen suatu organisasi. Sangat banyak orang memotongnya dengan hanya menyebut manajemen yang tentu makna umumnya adalah proses mengelola atau pengelolaan.

Pada kancah politik, politikus, pejabat, pengamat, dan pewarta berita di negeri ini lebih senang cuma menyebut kata legislatif ketimbang sebutan lengkapnya, lembaga legislatif atau badan legislatif, yang merujuk pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada bidang ekonomi, khususnya perbankan, bankir, pejabat, pengamat, dan pewarta berita juga terbiasa menyebut otoritas moneter untuk maksud pemangku otoritas moneter atau pemilik otoritas moneter dengan rujukan Bank Indonesia (BI).

Bias makna makin melebar ketika tak sedikit orang cukup mengucap atau menulis frase menengah atas untuk maksud kalangan menengah ke atas, masyakarat kelas ekonomi menengah ke atas, atau masyarakat kelas sosial menengah ke atas. Sepintas, frase menengah atas semakna dengan frase menengah ke atas. Tapi, penyimak atau pembaca yang jeli cenderung akan memaknai frase menengah atas sebagai bagian tengah dari kelompok atas, sedangkan frase menengah ke atas cenderung diartikan sebagai rentang bagian atau kelompok mulai dari bagian atau kelompok tengah hingga bagian atau kelompok atas. Di titik itu, kesalahan logika sesungguhnya sudah terjadi di sana.

Tapi, kalau memang tak mau mengorupsi kata dan makna tak terlalu banyak, kenapa tak memilih menggunakan kata tengah untuk frase tengah atas atau tengah ke atas dengan makna masing-masing? Selain paralel karena sama-sama menggunakan kata dasar, makna kata tengah pada frase-frase tersebut dapat dibedakan secara tegas dari kata menengah yang bisa pula berarti bergerak ke tengah.

Kesalahan logika terasa makin kuat ketika banyak orang—terutama pewarta berita—juga hanya menyebut kata media untuk maksud pewarta berita media massa. Misalnya, Pengumuman itu disampaikannya di hadapan puluhan media. Ketika yang ditujunya sebenarnya adalah pewarta berita media massa cetak, yang disebut pun tetap kata media. Padahal, mereka tahu bahwa kata media berarti perantara atau penghubung. Ada sejumlah frase yang dapat dibentuk dengan menggunakan kata tersebut, termasuk media massa. Frase tersebut pun dapat dipilah lagi sekurangnya menjadi frase media massa elektronik dan frase media massa cetak. Kalau mau dipilah lagi menjadi lebih khusus, silakan saja.

Namun, pada saat yang sama, kita mestinya merasakan bahwa makin banyak kata dan makna yang telah kita korupsi. Kalau kata dan makna saja dikorupsi, apalagi dana dan harta. Atau, semua itu pertanda bahwa kita senang berhemat, meski imbas krisis moneter pada 1998 belum benar-benar berlalu dan krisis baru siap mengancam serta keserakahan makin sering ditunjukkan banyak orang kaya?*

(Harian Suara Pembaruan, 29 Oktober 2011.)

CERPEN: Kado Mimpi buat Konglomerat

12 Maret 2011

Cerpen Iwan Gunadi

INI benar-benar tak masuk akal. Aku konglomerat yang selalu menindas dan mengisap rakyat. Tapi rakyat pula yang menghadiahiku sebuah tempat di surga.

Mulanya sebuah kado di atas meja di kantorku. Kado itu berlapis kertas warna putih dengan pita merah. Bentuknya kotak empat persegi panjang dengan ukuran setengah meter kali satu meter. Tebalnya sekitar lima sentimeter.

Sambil duduk, kertas kado segera kurobek. Ternyata lukisan. Kedua tanganku menegakkan lukisan itu dengan memegangi kedua tepinya. Dalam jarak pandang sepanjang tanganku, sebuah lukisan yang ramai terpampang di hadapanku. Ramai oleh orang-orang yang tersenyum dan tertawa, ramai oleh deretan atau tumpukan barang-barang mewah: rumah, mobil, televisi, laptop, ponsel, lembaran pecahan rupiah, lembaran dolar, buku, amplop, dan memo.

Sebuah gambar realis yang terkesan menjadi surealis lantaran membaur, tanpa batas. Semuanya serbaindah dan mudah. Sesuatu yang tak asing bagiku. Tak heran bila aku tak tertarik mengamatinya.

Justru, yang menarik mataku adalah gambar di pusat lukisan itu. Gambar itu menyerupai wajah. Tapi ia tak bisa kupastikan betul-betul wajah. Sebab, pada gambar inilah teknik surealis justru menguat. Meski begitu, ia seperti mengajakku menengok masa lalu yang perih. Tapi, belum juga ingatan masa lalu itu mewujud secara jelas, gambar yang laksana wajah seorang bocah itu menyedot tubuhku memasuki dunia dalam lukisan itu.

Aku mencoba memalingkan muka dari wajah itu. Tapi makin kuat aku mencoba memalingkan muka, makin kuat pula wajah itu menyedot tubuhku. Energiku terkuras, lalu terlemparlah aku ke surga.

Itu sebetulnya bukan kado pertama yang kuterima. Sebelumnya, dalam setengah tahun ini, sudah 20 kado kuterima. Hampir setiap minggu aku menerima kado. Kado-kado itu tiba-tiba saja hadir di meja kerjaku, baik di rumah ataupun di kantor. Tapi yang tersering adalah di kantor. Tampaknya, sebagian besar pengirim kado itu tahu benar bahwa aku lebih banyak di kantor ketimbang di rumah.

Tak pernah diketahui secara pasti siapa pengirim kado-kado itu. Tak pernah ada satu kata pun tertulis di kado-kado itu. Baik di dalam kado, apalagi di luar kado.

Kecuali kado terakhir yang diimbuhi kata-kata dan sebuah kado lain. Ada dua kata di kado terakhir. Ditulis di bagian luar bawah kado. Begini bunyinya: “Dari Rakyat.” Kado lain itu datang beberapa minggu sebelumnya. Isinya cuma secarik memo. Bunyinya: “Tolong diperhatikan teman baik saya ini. Tertanda, Tuhan”. Sepotong sinisme yang tajam mengiris.

Seluruh pekerja di kantor atau seluruh orang di rumah tak tahu siapa yang menaruh kado-kado itu di atas meja kerjaku. Sekretaris pribadiku di kantor dan istriku di rumah tak tahu. Para petugas satuan pengamanan (satpam) di kantor dan di rumah pun tak pernah melihat orang yang tak dikenal atau mencurigakan masuk ke kamar kerjaku ketika kantor tutup atau ketika libur atau ketika malam tiba. Seluruh nama dalam daftar tamu, setelah diselidiki, tak ada seorang pun yang berkepentingan dengan kado-kado itu. Jadi, siapa para pengirim itu? Tak pernah diketahui secara pasti. Meski begitu, di luar kado terakhir, biasanya, setelah membuka sebuah kado, aku bisa memperkirakan siapa “aktor intelektual” di balik setiap pengiriman kado.

Aku selalu hati-hati menghadapi isi kado-kado itu. Sebelum kubuka sendiri, tim keamananku harus memastikan bahwa kado-kado itu tak akan mencederai, apalagi mencelakakanku. Setelah dipastikan aman dan semua orang kusuruh meninggalkan ruang kerjaku, termasuk istriku bila di rumah, aku selalu membuka setiap kado secara tergesa-gesa.

Di luar kado terakhir, aku selalu tercengang setelah mengetahui isi suatu kado. Misalnya, saat aku membuka kado berisi boneka wanita telanjang setinggi sekitar 25 cm. Boneka tersebut dilumuri cairan bening seperti lendir. Ujung telunjukku mencoba menyentuhnya. Agak lengket. Hidungku yang besar segera membaui ujung telunjukku. Agak bau anyir. Uh, air mani!

Pikiranku segera menerawang. Hari itu, aku baru saja memenangkan tender proyek pembangunan jalan tol di ujung timur pulau ini. Empat perusahaan terlibat dalam terder tersebut, termasuk perusahaanku. Aku tahu, mereka perusahaan yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Perusahaanku sendiri, saat itu, baru terjun ke bisnis pembangunan jalan tol. Tapi aku punya potensi lebih besar untuk memenangkan tender itu: aku kenal dan tahu betul kesenangan pejabat yang akan memutuskan tender tersebut. Zaman memang telah berubah, tapi perilaku pejabat tetap sama seperti perilakuku.

Tak sulit mencari tahu siapa dari tiga perusahaan itu yang mengirimkan kado boneka wanita telanjang. Tak juga sukar “mendiamkan” si pengirim. Besoknya urusan selesai. Bahkan, kemudian, bos perusahaan itu banyak membantu urusanku di sektor itu.

Contoh lain adalah kado berisi sepotong kelamin kuda jantan yang baru saja dipotong. Darah segar masih menggenang di bawah kelamin kuda jantan itu di dalam plastik bening. Segera saja aku ingat sejumlah artis, foto model, peragawati, dan ratu kecantikan yang pernah atau masih menjadi selimut tidurku. Beberapa di antaranya kugandeng dari tangan pejabat atau pengusaha lain. Bahkan, ada yang kurebut ketika masih dipakai seorang purnawirawan jenderal bintang tiga. Aku tahu siapa di antara mereka yang mengirim kelamin kuda jantan itu. Yang pasti, ia bukan purnawirawan itu. Sebab, yang terakhir ini telah menjadi salah seorang komisaris di salah satu perusahaanku.

Akhirnya, semua pengirim kado itu berhasil kuketahui. Semuanya berhasil pula kutangani. Kalau kooperatif, mereka tentu akan menjadi mitra bisnis. Keuntungan terbesar tentu ada di tanganku. Kalau tak kooperatif, ya terpaksa kulibas. Kalau kadar ketakkooperatifannya rendah atau sedang, cukup perusahaan-perusahaannya yang kulibas. Kalau tinggi atau keterlaluan, ya, dengan sangat menyesal, aku juga tak mau lagi melihatnya berseliweran.

Jadilah aku pengusaha yang tak tertandingi. Kekayaanku sangat melimpah. Kekuasaanku tak terbatas. Bahkan, seorang presiden atau wakil rakyat pun tak bisa berbuat apa-apa terhadapku bila aku bertindak salah atau keliru.

Nah, semua itu seketika hilang ketika aku terlempar ke surga. Aku tetap kaya dan berkuasa. Aku tetap mudah memperoleh segala yang kuinginkan. Tapi yang lain pun memiliki dan memperoleh hal yang sama. Padahal, aku paling tidak suka kalau ada yang mampu menyaingi.

Ketakdigdayaan itu kuketahui setelah aku mencoba menyogok sejumlah yang lain. Ketika baru terlempar ke surga, aku mendapati sepasang yang lain sedang berasyik-masyuk. Aku menawari mereka pasangan lain yang lebih cantik dan tampan bagi masing-masing agar mereka mau menuruti dan mewujudkan segala perintah dan keinginanku. Eh, mereka malah menawariku yang lebih cantik.

Harta kekayaan yang melimpah dan tak terbatas kutawarkan kepada penjudi yang kalah. Ia mau. “Tapi keputusan enggak ada di tanganku,” akunya dengan mimik muka tanpa keluhan. Jadi? “Kau tanyalah sama Tuhan, boleh enggak aku menerima suapmu. Kalau boleh, tanya juga sama Tuhan, apa Tuhan bisa menjamin bahwa harta kekayaan yang akan kau suapkan itu benar-benar harta kekayaanmu, bukan harta kekayaan Tuhan.” Oh, benar-benar menjengkelkan.

Aku berteriak minta tolong. Aku minta ampun. Ketukan bertubi-tubi dan cepat kudengar menerpa pintu.
Mataku terbuka. Di hadapanku, di atas meja kerjaku di kantor, lukisan itu masih membentang.

***

Di meja kerja di rumah, aku mendapatkan kado sejenis. Cuma, pitanya putih. Sampul kadonya merah. Aku takut membukanya. Tapi serasa ada yang memaksa tanganku untuk segera merobek sampulnya dan melihat isinya.
Sebuah lukisan dengan ukuran dan isi yang sama. Bedanya, di lukisan itu tak tampak gambar manusia. Kalaupun ada, itu adalah wajah seorang perempuan tua di pusat lukisan yang tampak samar-samar. Wajah itu pun mengingatkanku pada masa silam yang buruk. Keburukan yang muncul karena kebodohan ibuku. Ibu yang dungu, yang mau saja menyerahkan kegadisannya hanya karena sebuah rayuan. Ibu yang memilihkan ayah tiri yang selalu menampar atau menendangku bila aku berbuat salah, meskipun kecil saja.

Aku mencoba memalingkan muka dari wajah itu. Tapi makin kuat aku mencoba memalingkan muka, makin kuat pula wajah itu menyedot tubuhku. Energiku terkuras, lalu terlemparlah aku ke surga.

Tak ada yang lain yang kutemui. Setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang lain yang sejenis denganku yang berhasil kutemui. Lebih dari setahun, keadaan tetap sama. Padahal, setahun di akhirat, konon, berbanding lurus dengan berabad-abad, bermilenium-milenium, atau bahkan jauh lebih lama dari itu di dunia.

Semua kebutuhanku memang terpenuhi. Tapi untuk apa kalau aku cuma sendiri. Tak ada yang bisa kusuap, kutegor, kurebut, kuselingkuhi, kuteror, kuhancurkan, kubunuh, dan seterusnya. Bahkan, kutawari untuk kusuap, kutegor, kurebut, kuselingkuhi, kuteror, kuhancurkan, kubunuh, dan seterusnya nihil. Aku kaya dan berkuasa, tapi keduanya tak punya efek apa-apa. Jadi, buat apa?

“Kau betul-betul masih ingin menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya? Ampunmu cuma pura-pura?” Suara yang terdengar keras di telingaku itu membuyarkan lamunanku.
Aku menyapukan pandangan ke sekeliling. Tak ada siapa pun.

“Kau betul-betul masih ingin menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?”

“Siapa kau?”

“Kau belum menjawab pertanyaanku?” Suara itu terdengar lebih keras.

“Kau jawab dulu pertanyaanku!”

“Kau belum menjawab pertanyaanku?” Suara itu mulai memekakkan telinga. Rasa sakit mulai menjalari telingaku.

“Baik. Aku jawab: mau.”

“Maukah kau menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?”

“Kau siapa?”

“Apa kau melontarkan pertanyaan yang sama ketika akan menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?” Suara itu membuat telingaku bertambah sakit.

“Baik. Aku jawab: mau!”

“Betul-betul mau?” Suara itu membuat telingaku makin sakit.

“Kau sungguh berani kepada Malaikat Maut!” Suara itu begitu keras.

Cairan terasa mengalir dari kedua telingaku. Jari-jemari kedua tanganku merabanya. Kulihat darah segar di jari-jemari kedua telapak tanganku.

Aku pingsan seketika. Atau, entah sudah mati. Aku tak tahu pasti. Yang kurasakan, mataku yang lain melihat lukisan itu tergeletak di meja kerja di rumahku. Kedua tanganku tak lagi memegang kedua tepinya agar tegak.

(Harian Lampung Post, 6 Maret 2011)

BERITA: 100 Tahun Covarrubias: Dewa-dewa di Ruang Sempit

11 Desember 2010

Postmortum Message to Miguel Covarrubias, Nacimiento de Miguel Covarrubias, Cremacion de Miguel Covarrubias, Vida y muerte de Miguel Covarrubias. Judul-judul itu diberikan oleh Sergio Lopez Orozco, 59 tahun. Lelaki itu jauh-jauh datang dari Meksiko ke Bali membawa lukisan-lukisannya yang istimewa. Dibuat di atas kertas-kertas buatan tangannya sendiri.

Bahannya adalah kambium pohon ficus, sejenis tanaman khas yang hanya tumbuh di Meksiko. Kertas-kertas itu diproses dengan teknik yang dipelajarinya dari sebuah suku indian kuno Meksiko. Semua buah karya Orozco itu adalah penghormatan yang ditujukan pada sebuah nama: Miguel Covarrubias.

Di Arma Museum, Ubud, yang asri milik Agung Rai itu sejak minggu lalu diadakan peringatan 100 tahun Covarrubias. Inilah nama yang seharusnya akrab dengan kita tapi mungkin terlupakan. Covarrubias adalah seniman tersohor Meksiko yang pada awal 1930-an mengembara-berbulan madu dengan istrinya, menyusuri Bali; dan pada 1937 meluncurkan buku Island of Bali. Sebuah buku yang disebut-sebut memiliki andil besar membuat Bali seterkenal sekarang ini.

Ketika diluncurkan pertama kali di New York, konon, buku itu membangkitkan “Baliomania” di kalangan seniman. Covarrubias memang disebut-sebut mempengaruhi keinginan banyak peneliti Amerika dan Eropa untuk datang. Mereka ingin melihat pura, drama dan tari, kesurupan-kesurupan, ensambel besar gamelan, ritual-ritual, dan festival kematian yang melibatkan puluhan ribu orang-pendeknya, semua “keajaiban” yang dikisahkannya.

“Sebetulnya, sebelum Covarrubias datang, banyak peneliti Belanda seperti Dr Goris yang menulis buku, tapi karena tulisannya ilmiah malah tak dikenal. Sementara itu, buku Covarrubias enak dibaca, populer sehingga sampai kini dicetak terus.” Kata-kata Prof Dr James Danandjaja, antropolog Universitas Indonesia, menandakan buku itu masih relevan digunakan sampai sekarang.

Covarrubias di negaranya dikenal sebagai seorang yang tertarik pada kebudayaan Pre-Kolombia: Inca dan Maya. Dari bukunya, Island of Bali, kita dapat melihat betapa ia tak dapat menyembunyikan keterpukauannya menemukan di Bali denyut kebudayaan arkais masih terjaga, bukan sekadar artefak. “Bali adalah museum hidup.” Kata-kata terkenal ini sesungguhnya adalah kata-kata Covarrubias. Bahkan Soekarno pun terpikat oleh buku Covarrubias. “Membaca buku Covarrubias, Soekarno memutuskan untuk mengirim duta budaya Gong Gunung Sari, sebuah kelompok gamelan Bali, ke Amerika dan Eropa pada 1942,” kata Agung Rai.

* * *

Covarrubias lahir pada 1904 di sebuah daerah bohemian Meksiko. Ayahnya adalah seorang insinyur yang bekerja untuk Presiden Porfino Diaz. Sejak muda, Covarrubias dikenal sebagai angry young man Meksiko. Ketika SMA ia menentang gurunya dan keluar dari sekolah. Orang selanjutnya mengenalnya sebagai otodidak. Ia berguru pada penyair Jose Juan Tablada-dan aktif membuat karikatur. Pada umur 19 tahun, ilustrasi-ilustrasinya telah menyebar ke surat-surat kabar Amerika Selatan dan Tengah.

“Ia seorang yang cerdas yang pada usia muda sudah bisa membuat merah telinga penguasa. Ia berkeliling Meksiko, membuat tulisan dan karikatur yang mengkritik kebijakan ekonomi-politik pemerintah,” kata Orozco.

Nama Covarrubias melambung saat ia pindah ke New York pada 1923. Bakatnya sebagai karikaturis melesat. Karya-karyanya menjadi langganan majalah Vanity Fair, Fortune, New Yorker, Life. Ia dianggap memelopori kartun satire gaya baru yang menyegarkan. Ia kerap membuat anekdot selebriti dan politikus. Sebuah karyanya yang berjudul Marlene Dietriech vs Senator Smith W. Brookhart menggambarkan bom seks asal Jerman itu berdiskusi serius dengan seorang senator Amerika yang konservatif. Di New York, Covarrubias masuk dalam lingkungan pergaulan elite. Rockefeller dan Alfred Knopft adalah temannya.

Covarrubias juga adalah sahabat baik pasangan pelukis masyhur Meksiko: Diego Rivera dan istrinya, Frida Kahlo. Beberapa foto mereka bertiga menunjukkan keakraban. “Memang ada gosip di masyarakat antara Frida dan Covarrubias hahaha,” kata Orozco. “Saya pernah melihat foto mereka bersama. Frida melirik ke Covarrubias, sementara Covarrubias memandang Frida dengan sorot sentimental.”

Pada 1924, Covarrubias berjumpa dengan Rosa Rolanda, seorang penari kelompok Morgan Dancers yang sering tampil di Broadway pada 1924. Ia lalu menikahi perempuan kelahiran Los Angeles itu.

Keterpesonaannya pada Bali lahir suatu hari pada 1930, saat Covarrubias melihat album foto dengan judul Bali karya Gregor Krause yang dibuat pada 1912. Hatinya berdesir. Hasratnya tak tertahankan untuk bisa tinggal di pulau “ujung dunia” itu .

Beberapa bulan kemudian, pasangan suami-istri itu naik kapal Cingalese Prince menuju Jawa. Perjalanan ditempuh selama enam minggu. Dari Jawa, ia naik kapal Belanda, mendarat di Buleleng. Di Buleleng, mereka menyewa rumah milik bekas salah satu istri Raja Klungkung yang selamat dari Perang Puputan. Dari Klungkung, mereka menuju Denpasar. Di Denpasar mereka tinggal di sebuah rumah di daerah Belaluan milik Gusti Alit Oka, keturunan Raja Badung yang juga selamat dari Perang Puputan.

Dengan Chevrolet tua sewaan, tiap hari Covarrubias keluyuran mengunjungi berbagai sudut Bali. “Walters Spies menjadi pembimbingnya,” kata Agung Ray. Memang, Spies, pelukis asal Jerman itu, menjadi semacam mentor pertamanya tentang Bali. “Saya tak menduga ia bakal menjadi kawan akrab saya. Saya pernah melihat lukisannya dan kagum,” tulisnya. Lalu ia bercerita bagaimana Spies gemar mengoleksi serangga, laba-laba aneh, siput untuk digambar, kemudian dilepas lagi.

Saat balik ke Amerika, pasangan ini sempat transit di Paris. Saatnya bertepatan dengan diselenggarakannya Expo Kolonial 1932-di antaranya, rombongan Bali yang dipimpin Tjokorde Ubud menggetarkan seniman Prancis, termasuk komponis Debussy dan dramawan Antonin Artaud. Gara-gara itu, tiba-tiba Covarrubias merasa sayang meninggalkan Bali. “Saya merindukan Bali,” tulisnya.
Pada 1933, Covarrubias mendapat beasiswa dari Guggenheim Foundation untuk meneliti Bali. Ia dan Rosa balik ke Bali. Mereka sempat tinggal di rumah Walter Spies dekat Sungai Campuan, Ubud. Kemudian kembali ke Belaluan, Denpasar, menyewa rumah Gusti Oka.

* * *

Pada kunjungannya yang kedua itulah ia intens menyelami detak kehidupan Bali. Bila di sela-sela petualangannya ia membuat ilustrasi, Rosa, istrinya, sibuk dengan kameranya.

Dalam Island of Bali kita dapat melihat jepretan kamera Rosa merekam mulai dari peristiwa yang paling riuh seperti Ngaben sampai yang paling senyap seperti perahu yang sendirian di pinggir pantai. Bila banyak foto Rosa yang menampilkan para maestro seniman Bali seperti penari I Mario atau pemusik Wayan Lotring, itu karena Covarrubias berteman dan saksi kehidupan mereka yang mengharukan.

Minat Covarrubias pada suatu “perbandingan” bangkit di Bali. “Spies sangat antusias terhadap sesuatu yang berbau megalitik. Ia sampai mencari ke tempat terpencil, patung-patung batu yang tidak terpengaruh kebudayaan Hindu,” tulis Covarrubias. Ia melihat di Bali memang banyak terdapat patung berbentuk aneh seperti altar batu di Batu Kandik, Nusa Penida. Patung-patung itu mengingatkan bentuknya pada patung Dayak, Batak, bahkan seni-seni Polynesia. Ini menimbulkan spekulasi tentang asal-usul masyarakat asli Bali.

Covarrubias bersama Spies melakukan ekspedisi masuk hutan lebat antara Gunung Batur dan Bratan. Mereka menuruni jurang-jurang yang licin. “Kami menemukan banyak patung berlumut yang kentara sekali tak terpengaruh Hinduisme. Patung ini lebih dekat ke kebudayaan Polynesia,” tulisnya.

Covarrubias melihat desain-desain lamak atau cili, salah satu motif pra-Hindu yang populer di kalangan masyarakat. Lamak adalah dekorasi dari janur yang menampilkan simbol gunungan, kekayonan, bulan, bintang, matahari, sementara cili menggambarkan dewi kesuburan. Semuanya umum, ditampilkan dalam upacara-upacara.

Buku Covarubbias selanjutnya adalah saksi kehidupan sehari-hari orang Bali yang masih puitis. Bagaimana orang Bali melewatkan waktunya, dari kelahiran sampai kematian, semua digambarkan dalam harmoni; bagaimana orang Bali memiliki banyak waktu luang sehingga dapat menciptakan aneka bentuk karya kesenian.

Dalam sebuah bagian bahkan Covarrubias menggambarkan saat panen yang disambut orang Bali dengan bekerja sambil menyanyi gembira. Menurut Prof Luh Ktut Suryani, mereka yang masih kecil pada 1950-an, membaca buku Covarrubias seperti bernostalgia. “Sekarang kan yang mengetam bukan lagi orang Bali, tapi orang luar yang selalu bergegas dan tidak bernyanyi; selalu berpikir cepat-cepat kelar,” katanya.

“Uraian Covarrubias memberi inspirasi untuk orang yang mau mendalami,” kata Prof James Dananjaya yang disertasinya tentang Trunyan. Menurut Dr I Nyoman Darmaputera, dosen Fakultas Sastra, Universitas Udayana, dalam meneliti Covarrubias lebih menggunakan perasaan dan tak terlalu berpretensi melakukan penilaian teoretis. “Itu sebabnya uraiannya memikat, sementara antropolog seperti Clifford Geertz selalu berdasarkan riset yang diformat,” kata lulusan Universitas Queensland itu.

Salah satu bagian terpenting buku Covarrubias justru terletak pada bab terakhir. Setelah uraian panjang tentang segala hal di Bali, ia sampai pada pertanyaan tentang masa depan Bali: apakah Bali akan bertahan? Ia cenderung percaya: ya! Untuk itu ia mengetengahkan kegagalan misionaris di Bali. Selama lebih dari 200 tahun, para zending tak berhasil menyebarkan pengaruhnya di Bali karena berhadapan dengan benteng budaya yang ketat.

“Misionaris Katolik pertama adalah dua pastor dari Malaka yang datang pada 1635. Mereka adalah pastor Manuel Carualho SJ dan Azeuado SJ. Mereka datang setelah mendapat izin dari Raja Klungkung,” kata Romo Subanar SJ kepada Tempo.

Hal itu juga terdapat dalam buku Covarrubias. Pengaruh mereka tak begitu berarti. Covarrubias menceritakan kisah seorang remaja Bali yang masuk Protestan, lalu berganti nama menjadi Nicodemus. Ia diasingkan dan dianggap mati oleh warga dan sanak saudara. Secara mental ia tersiksa. Tidak kuat menanggung, ia lalu membunuh pendeta yang mengasuhnya. Ia meninggalkan agama barunya dam minta dihukum secara hukum adat. “Itu terjadi pada 1881,” kata Romo Banar. Kasus ini menjadi ramai di Belanda. Gara-gara itu Belanda menetapkan Bali sebagai tempat konservasi budaya.

Seperti dicatat Covarrubias, datang zending lain pada 1891, 1920, dan 1922. Kali ini Katolik. Kemudian pada 1930-an, giliran misionaris Protestan Amerika. Saat itu Dr Kramer, pemimpin misionaris Amerika, datang sendiri ke Bali, meneliti, dan menyimpulkan bahwa agama di Bali telah makin pudar, dan ia melihat Bali membutuhkan Kristen. Tapi intelektual Eropa yang waktu itu tinggal Di Bali, termasuk Walter Spies, menentang habis-habisan pandangan ini.

Island of Bali yang terbit juga cenderung menyokong penolakan itu. “Bali sama sekali bukanlah tempat kaum misionaris dapat memperbaiki standar fisik dan moral masyarakat. Agama bagi orang Bali lebih dari sekadar musik, tari, teater spektakuler untuk kesenangan belaka. Agama bagi mereka adalah hukum kekuatan-kekuatan yang menyatukan masyarakat…,” tulis Covarrubias.

Bali yang tangguh terhadap misionaris seyogianya, diharapkan Covarrubias, tangguh juga menghadapi gempuran pariwisata. “Covarrubias optimistis Bali akan bisa bertahan. Dia yakin Bali akan mampu dengan inteligensianya mengadopsi kebudayaan luar,” kata Nyoman Darmaputra. Itulah tesis Covarrubias yang menjadi bahan perdebatan sampai kini.

* * *

“Saya dulu juga sepakat seperti Covarrubias bahwa Bali mampu bertahan, tapi sekarang tidak,” kata Prof Luh Ktut Suryani. Ia sendiri adalah seorang psikiater yang disertasinya menganalisis kepribadian orang Bali. Buktinya? Ia menunjuk Denpasar yang “hampir tak bersisa”. Menurut Suryani, orang Bali mengalami kemerosotan luar biasa dalam mempertahankannya budayanya. “Sekarang ini semua berbicara tentang uang, uang, dan uang.”

Memang, perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dulu Covarrubias kagum karena di jalanan Bali tak terdapat gelandangan, sementara kini sebaliknya. “Kini orang Buleleng dan Tabanan banyak jadi pembantu. Dulu tak mungkin karena terkenal dengan kesuburan tanah,” tutur Suryani. Salah satu biang keroknya, menurut dia, penjualan tanah besar-besaran untuk pariwisata kepada orang luar.

“Pemerintahlah yang merusaknya. Kalau dulu tidak ada pemaksaan penerapan sertifikasi tanah, tidak akan seperti ini” kata Suryani. Dulu, tanah-tanah milik keluarga itu tidak diatasnamakan perorangan, tetapi keluarga besar. Sertifikasi memaksa tanah-tanah keluarga bernama pribadi. Hal itu, menurut dia, memicu penjualan sekaligus permusuhan keluarga. Sertifikasi tanah telah membuat orang Bali bentrok dengan anggota keluarga sendiri.

Ruang kosong adalah konsep yang penting dalam kosmologi Bali. Covarrubias melihat di Bali di mana pun selalu ada pembagian ruang sakral dan profan. Yang mengesankan baginya bahwa di Bali selalu ada ruang-ruang sakral yang lapang. “Sekarang jaba (bagian luar pura) banyak yang dipakai sebagai lapangan badminton, taman kanak-kanak, dan tempat senam. Kalau dewa-dewa ikut senam, kan tidak mengurusi kita lagi hahaha,” kata Suryani.

Menurut Suryani, Pura Uluwatu, misalnya, meski masih bernuansa Bali, kini gersang karena lumut-lumut dibersihkan, pohon ditebang. “Tempat-tempat suci orang Bali itu sudah dipangkas oleh orang Bali sendiri sehingga dewa-dewa seperti dicukupkan masuk ke tempat sempit. Energinya tidak keluar….”

Dari Bali, Covarrubias dan Rosa kemudian kembali ke Meksiko. Rumah mereka di Tizapan, di luar Kota Meksiko, menjadi tempat berkumpul para maestro Meksiko seperti Rivera, Kahlo, Roberto Montenegro, Charlos Chavez, Rufina Tamayo. Juga menjadi tempat persinggahan para seniman dunia. Rumahnya seperti rumah Virginia Woolf di Bloomsbury atau rumah Gertrude Stein di Paris. Ia dijuluki Renaissance Man from Mexico. “Covarrubias termasuk dalam gerakan intelektual besar di Meksiko,” kata Orozco.

Apalagi kemudian ia menjadi direktur museum purbakala. “Covarrubias melakukan hal besar. Ia mengumpulkan, menata, mengklasifikasi, dan menempatkan serpihan artefak kuno peninggalan peradaban masa lampau, seperti peninggalan suku Aztec dan lain-lain,” tutur Orozco.

Dalam “lingkaran seniman-intelektual” itulah nama Bali makin tersohor. Dalam sebuah tulisannya, Covarrubias menggambarkan Bali: penuh dewa yang bergerak bebas di ruang-ruang lapang, bukan di ruang-ruang yang disediakan pariwisata. Citra itu yang terus berlangsung setelah Covarrubias meninggal pada Februari 1957. “Apa yang ditulis selalu menyisakan pertanyaan mengenai apa yang tidak ditulis. Kalau ingin melihat sejarah hitam Bali, jangan baca Covarrubias, tapi, misalnya, buku Jefry Robinson, The Dark Side of Paradise, sisi gelap Bali, tempat raja sangat kejam sampai pembunuhan massal pada 1960-an,” tutur I Nyoman Darmaputra.

Di New York, untuk memperingati 100 tahunnya (dihitung dari tahun kelahirannya), sebuah museum menampilkan pameran Miguel Covarrubias: Certain Clairvoyance. Tapi di sini, orang tak banyak yang mengingat, padahal refleksinya penting untuk membaca tanda-tanda zaman di Bali, kecuali sebuah pameran kecil di Ubud. Seno Joko Suyono, Rilla Nugraheini, Rofiqi Hasan, Evieta Fajar, L.N. Idayani

Majalah Tempo, 27 Juni 2005

BERITA: Dorothea Rosa, Apakah Pemerintah “Membaca” Sastra?

11 Desember 2010

Pengantar Redaksi
Rosa panggilan Dorothea Rosa Herliany memilih dunia penulisan sejak mahasiswa. Namun, tulisan opini pertamanya dimuat di sebuah majalah remaja saat dia duduk di sekolah menengah pertama (SMP).

Rosa tidak melulu menjadi penulis dan penyair, tetapi juga merintis penerbitan, perpustakaan, dan tempat berkumpul bagi komunitas penulis. Dia mengabdikan dirinya untuk dunia yang dicintainya itu, termasuk suatu saat pernah menjual mobil dan tanahnya untuk membiayai kegiatan penerbitan ataupun aktivitas dunia penulisan itu.

Namanya kini sudah mendunia. Kumpulan puisinya yang lain, Kill the Radio (2001), telah diterbitkan pula di Inggris. Selain itu, karya-karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa.

Dalam menghasilkan suatu karya, apakah Dorothea Rosa menunggu hingga ide atau inspirasi datang menghampirinya, atau justru mencarinya? Bagaimana cara menjaga konsistensi dalam berkarya? Apakah bertekun menjadi seorang penyair di Indonesia bisa menjadi suatu profesi yang memberikan nafkah layak bagi diri sendiri dan keluarganya? Ataukah menjadi penyair hanyalah sebagai suatu penyaluran hobi berkesenian?
(Agatha Meissi, xxx@gmail.com)

Menulis puisi atau menulis karya sastra lainnya tidak hanya berhadapan dengan soal ”teknis” menulis, tetapi juga bukan melulu soal ”wangsit” atau ”ilham”. Oleh karena itu, tentu saja tidak sekadar seseorang menunggu ide datang atau bahkan sampai harus mencarinya. Tidak juga melulu soal target sehari harus menulis berapa halaman.

Penciptaan karya sastra melibatkan persoalan ”rasa” dan ”pikir”. Ketika ”rasa” dalam diri saya sedang sehat, dan pikiran sedang jernih, maka saya akan menghasilkan puisi bagus. Konsistensi seorang sastrawan biasanya dipengaruhi juga oleh sebanyak apa mereka membaca, baik karya sastra maupun membaca apa saja, termasuk membaca pengalaman hidup.

Tentu saja juga dengan terus berkarya (keharusan seseorang menulis dalam jumlah halaman tertentu, mungkin bagian dari hal ini, di mana ia membutuhkan keadaan yang berhubungan dengan kedisiplinan, dan hal ini memang penting).

Kepenyairan sama sekali tidak bisa dijadikan profesi untuk mencari nafkah. Tidak saja di Indonesia, bahkan di mana pun. Tetapi, juga bukan sekadar hobi berkesenian. Bagi saya, kepenyairan adalah suatu pilihan.

Hai Mbak Rosa. Mana karya terbarunya? Bagaimana pendapat posisi perempuan dalam karya sastra Indonesia kekinian? Apakah sudah banyak berubah bila di banding masa-masa sebelumnya?
(Anindita Siswanto, Yogyakarta)

Hai Anin… Karya terbaru sedang dipersiapkan. Mungkin awal tahun depan.

Perempuan dalam sastra Indonesia kini, secara kuantitas (jumlah sastrawan) selalu lebih sedikit daripada sastrawan lelaki. Sebenarnya, saya tidak pernah merasa perlu melakukan pemilahan jender. Tapi lepas dari hal itu, saya lebih melihat banyak penulis perempuan generasi kekinian tidak kalah dalam melakukan banyak gebrakan.

Dalam beberapa hal, mereka justru selangkah lebih baik daripada sastrawan lelaki. Sesungguhnya sastrawan (penulis) perempuan harus lebih berani karena mereka lebih memiliki keunggulan sebagai perempuan itu, baik dalam hal ”peluang” maupun ”area garapan”.

Apa Ibu memang asli orang Magelang atau hanya tinggal di Magelang.
(Purwanto Dwi Santoso, Jawa Tengah)

Saya lahir di Magelang dari dua orangtua asli Magelang, masa kecil hingga SMP tinggal di Magelang, lalu sebelas tahun sempat di luar Magelang sebelum akhirnya memutuskan menetap dan kembali tinggal di Magelang hingga sekarang.

Saya kagum dan bangga bahwa ibu sebagai wanita yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari masih terus berkarya dan membuahkan tulisan yang luar biasa sampai diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Saya juga senang menulis puisi, artikel, dan sejumlah buku. Apakah ada blog yang memuat kumpulan puisi Ibu? Bagaimana bisa diterjemahkan ke pelbagai bahasa apa ada jaringan kerja?
(Sr. M. Monika SND, xxxx@gmail.com )

Tidak ada blog khusus yang memuat puisi-puisi saya. Sampai hari ini saya masih lebih memercayai bentuk penerbitan cetak. Tetapi, jika Anda menginginkan puisi saya, bisa kontak saya via e-mail melalui Kompas.

Penerjemahan itu dilakukan setelah terlebih dahulu membaca karya saya, baik yang sudah saya publikasikan di media massa maupun yang terbit ke dalam buku. Memang yang kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa itu (kecuali yang berbahasa Jerman, Perancis, dan Belanda), berawal dari membaca karya saya dalam bahasa Inggris. Jadi, yang pertama penting saya kira adalah penerjemahan ke bahasa Inggris ini karena penerjemahan tersebut dengan sendirinya telah memperluas wilayah pembaca.

Dari situlah kemudian penerjemahan dilakukan ke bahasa lain. Memang ini tidak terlalu ideal (idealnya ya menerjemahkan langsung dari bahasa pertama ketika puisi itu diciptakan), tetapi tak apa (karena orang yang menguasai dan memahami bahasa Indonesia itu kan memang terbatas), asalkan kita tetap bisa bekerja sama dengan penerjemah. Selama ini saya memang selalu bekerja sama dengan baik dengan penerjemah.

Mbak bisa sukses di bidang Sastra (maksudku Puisi), menurut mbak apakah suatu bakat keturunan atau memang melalui belajar yang terus-menerus?
(Sri Mujiah, xxxx@yahoo.com)

Dalam keluarga saya tidak ada satu pun yang berbakat dalam sastra, bahkan yang berminat membaca pun tak ada. Jadi, saya merasa tidak ada faktor keturunan (saya juga tidak percaya hal-hal demikian).

Yang memengaruhi saya dalam berkarya lebih banyak karena faktor lingkungan (sahabat dan lingkungan bergaul), minat, dan keinginan untuk belajar yang tak putus-putus. Juga faktor yang tidak kalah penting adalah bahwa saya sangat suka membaca sejak kecil. Jadi, saya yakin mbak tidak pernah terlambat untuk belajar dari nol meski baru mulai sejak sekarang.

Apakah ibu memiliki semacam ”resep” singkat untuk penyair pemula. Apa yang menjadi pendorong utama ibu untuk selalu berkarya?
(Mariati Djamianto, xxxx@yahoo.com)

Resep saya: jangan pernah merasa menjadi ”pemula”. Yang terus-menerus mendorong saya untuk terus berkarya adalah kesadaran bahwa apa yang saya lakukan itu suatu pilihan (saya tidak percaya ”panggilan” karena nanti terus terjebak pada sikap ritual dan sakral). Untuk itu saya akan senantiasa melakukan yang terbaik untuk pilihan itu.

Bagaimana proses kreatif Anda dalam menciptakan puisi-puisi?
(Thomas Sutasman, Cilacap)

Proses kreatif saya menulis puisi, kadang spontan. Namun, saya harus selalu menyadari bahwa kata adalah ”satu-satunya” kekuatan. Oleh karena itu, kata menjadi begitu penting. Segala sesuatu harus mampu diungkapkan melalui kekuatan kata.

Karena kekuatan katalah yang harus mampu memberikan sugesti untuk sebuah pengalaman tertentu dalam sajak, yang seharusnya sampai kepada pembaca.

Saya tidak membatasi tema-tema khusus, tetapi saya selalu memiliki pembelaan yang sama, yaitu harapan akan sesuatu ”menjadi lebih baik”.

Bagaimana cara mendapatkan ide-ide ”nakal” untuk puisi kita, supaya puisi kita tidak sekadar cantik dalam kata tetapi juga segar?
(Helmi Fitria Nugroho, Bandung)

Bagaimana mendapatkan ide ”nakal”? Pertama-tama, kita harus tahu apa yang kita inginkan ketika menulis. Setelah itu, kita harus tahu hal yang biasa dan tidak biasa. Tetapi harus tetap sadar bahwa kita harus memutuskan sesuatu yang ”cerdas”. Maka ketika kita memilih yang ”tidak biasa”, kemungkinan besar kita tidak akan mengulang hal yang sudah dilakukan orang lain dalam menulis (karena itu banyak membaca karya orang lain menjadi penting). Itu menjadi ”nakal” karena unik dan cerdas.

Bagaimana menurut Anda mengenai perkembangan puisi yang ada di Indonesia?
(Rafi, xxxx@yahoo.com)

Sekarang sangat memungkinkan menulis puisi dan menemukan puisi di sembarang tempat, terutama sejak kita bisa dengan mudah menelusuri alamat-alamat web di internet. Secara kuantitas perkembangan puisi jelas sangat pesat. Dengan perkembangan teknologi yang makin memungkinkan kita bisa memengaruhi orang lain, publikasi kepenulisan di Indonesia juga cukup pesat, maka jadinya banyak juga muncul penyair-penyair (penulis-penulis puisi) baru.

Saya ingin sekali bisa berjumpa dan berbincang dengan Anda, tetapi rasanya tidak mungkin karena profesi saya sebagai kru kapal. Di antara gejolak rasa berhasil saya tuangkan dalam catatan-catatan kecil entah berupa apa, yang bertahun-tahun saya kumpulkan dalam satu bendelan kertas. Semoga saya bisa mengirimkan salah satu di antara kertas itu bila saya diberikan alamat Anda, agar saya mampu pahami dan mendapat sekelumit ilmu tentang syair dari Anda.
(Rasul Abidin, Surabaya, xxxx@globeemail.com)

Saya akan sangat senang apabila bisa membaca catatan-catatan kecil Anda. Melihat profesi Anda, pengalaman-pengalaman yang Anda temukan selama ini agaknya menarik. Saya pasti juga bisa belajar dari itu semua.

Mbak Rosa pengin tahu nih, karya Anda yang mana yang paling membuat Anda terkesan?
(Kusdiyana, Yogyakarta)

Setiap karya memiliki pengalaman-pengalamannya sendiri sehingga dari sudut pandang yang berbeda saya memiliki kesan-kesan terhadapnya.

Apakah tidak tertarik terjun langsung di dunia politik? Bagaimana caranya jadi Penulis puisi yang njiwani & sastrawi?
(Yaya Zuhriah, xxxx@gmail.com)

Saya tidak pernah tertarik terjun langsung di dunia politik. Saya yakin sampai kapan pun akan tetap begitu.

Menjadi penulis yang njiwani dan sastrawi, hmm… saya tidak tahu apakah saya mencapai tingkat seperti itu. Saya hanya terobsesi oleh keadaan ketika karya sastra saya dibaca oleh orang- orang yang membutuhkan hal itu untuk sesuatu perubahan menjadi lebih baik.

Bagaimana dalam kesibukan sebagai insan mondial, bagaimana Mbak Rosa menyelaraskan antara berkarya dan mengurusi banyak hal, yang bisa jadi, tak bersangkut paut dengan karya.
(Gunawan Sudarsana, SMA Seminari Mertoyudan, Magelang)

Kadang sastrawan menginginkan wilayah yang eksklusif dalam proses kreatif, yang terpisah dari urusan-urusan di luar sastra. Akan tetapi, di sisi lain sastrawan adalah anggota masyarakat biasa yang berhadapan dengan persoalan riil sehari-hari. Dan, sastra yang baik tidak terpisah dari persoalan masyarakat, di zamannya. Oleh karena itu, saya sangat bahagia jika bisa membaur di dalamnya, tetapi juga tetap bisa berkarya dengan baik.

Satu-satunya cara agar keduanya selaras adalah menyadari bahwa sastrawan memang tak akan pernah mempunyai ruang eksklusif di luar masyarakatnya. Justru mereka harus berada di tengah-tengahnya. (Salam untuk murid-muridnya ya, Pak Gun)

Mbak Dorothea Rosa, apakah karya-karya penulis kita—puisi, novel dan sebagainya—masih ”didengar” oleh masyarakat atau pemerintah, dalam arti bisa memengaruhi masyarakat atau pemerintah untuk mengambil kebijakan?
(Freddy Susianto, Meruya, Jakarta)

Saya tidak terlalu yakin apakah masih ada individu di pemerintahan ”membaca” sastra, apalagi puisi. Jika pun ada, mungkin itu hanya beberapa gelintir orang saja. Namun, seorang sastrawan itu harus terus menulis, apakah itu dibaca atau tidak oleh para penentu kebijakan.

Sastrawan selalu yakin, ketika peradaban manusia berkembang, maka mereka akan makin membutuhkan bacaan yang baik. Ketika masyarakat mulai menggemari buku-buku bacaan yang baik, maka peradaban manusia pasti akan makin mencapai suatu harmoni. (ush)

Harian Kompas (Jakarta), 2 November 2010.

PUISI: Dorothea Rosa Herliany

11 Desember 2010

Shang Hyang Wenang

tuhan akhirnya aku menemukanmu. tubuh yang menjulang
menuju puncak menara. ribuan lampu memudarkan warna senja.
kutemukan engkau dalam tubuh semerbak cengkeh dan ladang tembakau.
menyusuri jalanjalan penuh simpang, menembus kerumunan dan reriuh tanya.
sudah sejauh ini kuikuti sembarang langkahmu, di depan masih fatamorgana.

di bebukit dan gurun tak berbatas, sudah kubuang kitab dan mazmur dan kidung.
sembarang peta di tubuhmu sudah kukenal di luar kepala.
aku cuma pejalan yang tak berbekal, tapi pencari jejak yang pintar.
jika haus maka jejak kususuri hingga mengarungi hutan cengkeh dan tembakau.
kutemukan pancuran dari sungai ngungun. cukup kucecap embun dari setiap daun.
aroma rahasia membumbung dalam hasrat: menjangkau kalbumu.

tuhan akhirnya aku kehilangan engkau kembali.
sudah selarut ini aku berjalan dengan menanggung rindu dan sakit.
langkahku sarat jerat dan nafasku sesingkat ngengat.

Jakarta, 2010

tuhan, akhirnya kutemukan ibu yang kaukisahkan dalam sakitku.
wajah subuh yang kupandang sejauh rerumput dan hamparan ladang.
dalam dingin yang rapuh. tak pernah mampu kuurai sengkarut waktu.

ibu yang menjaga bayi lakinya dengan setia. memungut setiap kata jadi peta.
menyusun detik demi detik menjadi jarak tak terbaca. memungut setiap bebijian
dan menata lembar demi lembar dedaunan. lantas dia susun gegambar
seluas kebun.

dia menulis sajak di telapak tanganku. kubaca saban rindu.
kubakar dalam tungku. pijar menerangi sampai tepi haribaan mimpi
dia menuntunku mencari perahu. hingga kuarungi malam yang jauh,
menuju riwayatmu. tapi dalam bangun, yang tinggal cuma engkau.
diam di sudut hatiku: bergeming dalam sekerat ragu.

Kathedral, 2009

bunga-bunga rumput mendengar lagi derap kaki kuda beratus kereta
airmata berdenting di ranting. lalu cuma gelap. bukan sebab mendung,
tapi sesuatu yang memburu ajal. berdesingan seperti tak bermata.

ibu merintih selirih cinta. bapa meradang beribu hewan liar.
siapa yang diburu karena sekelebat niscaya hilang dalam rasa.
nafas ini merentang jarak dalam tikam dan lenguh hasrat.
beribu kaki penari menghentak sekarat kala. lantas siapa yang rubuh?

seperti tak akan pernah ada akhir. sejarah melaju dalam urat darah.
terkurung dalam labirin waktu. mengalir tak menemu hilir.

Magelang, 2010

– ranjaban

darah netes dalam denting ajal
waktu rubuh di kurusetra
lantas riuh di antara desingan anak panah
luka berebut tubuh

dinda, ambilkan kereta
sebab kanda tergesa

senja gugur
tak sempat cecap perih
lantas tercatat rintihan sekarat
lantas segala gelap

engkau hanya tidur kanda
tapi mimpi alangkah renta
kabur: antara takjub dan dera

waktu rubuh
luluh

dinda, ambilkan kereta
sebab kanda tergesa…

Jogya, 20-10-2010

di jalan menikung: rumah itu penuh dengan pintu.
pohon randu dan rerumput menembus horison tanpawarna.
di seberang pagar tergelar kebun gandum dan kandang kuda.
saban senja kuterima kiriman aroma tai ternak
dan malamnya tinggal sederet ringkik.
pagi membekas gerimis yang mendustai musim.
atau dingin sengit yang mengusir siput-siput tanparumah di punggung,
menuju semburat udara hangat tungku.

selalu kudengar percakapan asing pada setiap dinding.
sepenggal pertanyaan gagu menggarit luka kisah
dan ribuan butir rencana.
tak terjawab dalam buku harian bisu.

waktu teramat singkat. sudahkah kukenal kresna?
seorang tua penanam hujan dengan dadakaca
: dan jantung kayawarna.
seorang tua yang menuntunku pada hasrat dan kisah tua.
rumah dengan penuh pintu, kuambil satu untukku
: menjadi batas jarak pulang
ke ruang usia yang tak lagi panjang.

Langenbroich, 2009

telah tersurat: jika lunas waktu, aku segera berangkat.
bukan pulang atau mencari arah, teman. sebab kisah ini
pada akhirnya cuma berakhir sebagai riwayat.
tak terjanji siapa yang akan mencatat.
kita berangkat menuju batas cahaya dan gelap.

usia berjejalan: tiba-tiba matahari telah merunduk di barat
tahun merimbun seperti kebun: para pemetik menanam tanya
tak berjawab.

lantas siapa yang senantiasa berkelit dan meringkuk di lubuk?
seluruh rencana gugur seperti daundaun tua, mengubur kata.

maka telah tersurat: segulung waktu bergegas berangkat.
meninggalkan segala. cuma kita, akhirnya. bersitatap
: namun tak saling membaca riwayat!

Borobudur, 2010

Dorothea Rosa Herliany telah menerbitkan sejumlah buku puisi, antara lain Santa Rosa, Kill the Radio: Sebuah Radio Kumatikan, Nikah Ilalang, dan (yang akan terbit) Tambur Metamorfosa. Ia tinggal di Magelang, Jawa Tengah.

Kompas, Minggu, 14 November 2010.

ESAI: Pendidikan untuk Tak Menekuk Muka

20 November 2010

Iwan Gunadi
Alumnus IKIP Jakarta dan mantan guru

Tahun 1998, Taufiq Ismail menulis puisi berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI). Puisi tersebut sering dipentaskannya dengan pengkhayatan yang kuat, termasuk dengan suara bergetar dan kadang-kadang mata berkaca-kaca, di berbagai tempat dan kesempatan. Cara pembacaan yang menyentuh plus kontekstualnya kontennya dengan realitas di negeri ini membuat puisi itu menjadi salah satu puisi yang populer.

MAJOI mengisahkan perubahan sikap “aku” lirik dari semula bangga menjadi malu sebagai orang Indonesia. Bangga sebagai “anak revolusi Indonesia” yang diakui dunia. Malu karena budi pekerti hanya ada di kitab suci dan “langit akhlak roboh, di atas negeriku berserak-serak”: “hukum tak tegak, doyong berderak-derak”, “selingkuh birokrasi”, kongkalikong penghitungan suara pemilihan umum, tawar-menawar keputusan pengadilan, serta kekerasan di mana-mana.

Ketika keluarga mulai menjadi sekadar lembaga perikatan darah atau keturunan dan rumah hanya menjadi tempat singgah untuk istirahat, termasuk tidur, dunia pendidikan—terutama lembaga pendidikan formal—selayaknya mampu menjadi jangkar yang efektif untuk mengembalikan kebanggaan yang hilang sebagaimana didedahkan Taufiq Ismail dalam MAJOI. Sekurangnya, lembaga pendidikan formal mulai dari aras terendah hingga tertinggi dapat merangsang dan memperkuat potensi-potensi subjek didik untuk memiliki sikap antikorupsi, antinarkoba, antikekerasan, serta antipornografi dan pornoaksi. Sebab, keempat aspek itulah yang menjadi penentu utama keberlangsungan dan kewibawaan bangsa ini ke depan, termasuk keberanian mengangkat wajah atau menekuk muka.

Pembaruan pendidikan semestinya tak hanya berupaya menguatkan pengembangan kompetensi kecerdasan dan keterampilan, tapi juga menguatkan kompetensi moralitas, religiositas, dan spiritualitas subjek didik. Sayangnya, beberapa tahun terakhir, standar kompetensi telah direduksi hanya meliputi pengetahuan dan keterampilan. Padahal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mencakup juga sikap.

Subjek didik tak hanya disiapkan untuk memasuki aras pendidikan yang lebih tinggi atau mampu bersaing di dunia kerja, tapi juga mampu menjadi calon agen pencerahan nilai-nilai kemanusiaan pada masa depan. Dengan demikian, kelak, subjek didik benar-benar menjadi agen perubahan peradaban yang komplet dan utuh, yang mencari, menemukan, dan memraktikkan ilmu dengan fondasi moralitas, religiositas, dan spiritualitas. Kalau meminjam sebagian paradigma Kiai Ahmad Dahlan ketika berpidato pada Konggres Muhammadiyah 1922, subjek didik sungguh-sungguh menjadi agen perubahan peradaban yang komplet dan utuh dengan akal, hati, dan perilaku yang suci.

Di rumah, subjek didik mampu menjadi anggota rumah tangga yang menghormati orang tua, tapi tetap kritis menyikapi setiap keputusan orang tua dan berbagai kondisi yang terjadi di rumah. Kekritisan tersebut digerakkan dengan basis bahwa kehormatan atau martabat keluarga tak bergantung pada pencapaian-pencapaian fisik semata, tapi lebih penting dari itu adalah kualitas moralitas, religiositas, dan spiritualitas setiap anggotanya.

Karena itu, ketika orang tua mampu menyediakan fasilitas yang mewah kepada anak-anak, padahal bapak dan ibu mereka hanya pegawai negeri sipil yang tak memiliki jabatan atau sekadar pejabat level bawah, misalnya, subjek didik sekurangnya mampu bertanya secara santun kenapa orang tuanya semampu itu. Jangan sampai kejadian lagi, misalnya, anak belasan tahun memiliki rekening di bank dengan saldo miliaran rupiah. Kalau memang orang tuanya memiliki uang melimpah dan khawatir uang tersebut melewati batas penjaminan jika ditempatkan di satu rekening bank, kenapa mereka tak memecah dana yang melimpah itu ke dalam beberapa rekening di sejumlah bank berbeda atas nama mereka sendiri atau badan usaha yang mereka miliki, misalnya?

Di lingkungan pergaulan, subjek didik juga mampu menjadi sahabat yang mengasyikkan selain sekurangnya bisa menjadi pengingat yang mengasyikkan juga bagi temannya dari perilaku-perilaku yang berseberangan dengan etika dan hukum. Menuntaskan rasa ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru memang menantang. Akan tetapi, kalau penuntasan atau pencobaan tersebut dilakoni untuk sesuatu yang jelas-jelas tak bernilai positif, seperti narkoba, apa biaya penuntasan atau pencobaan itu tak terlalu mahal karena taruhannya rumah sakit, penjara, atau bahkan nyawa?

Kalau peran-peran seperti itu tak sanggup dilakoni, sekurangnya, subjek didik dapat menjaga dan memuliakan tubuh, kepala, dan hatinya sendiri dari kontaminasi sikap dan perilaku korupsi, penghalalan narkoba, kekerasan, serta pornografi dan pornoaksi. Menjerumuskan tubuh, kepala, dan hati ke dalam sikap dan perilaku tersebut merupakan pekerjaan mudah. Sebaliknya, pembebasan setelah terjerumus sering hanya menjadi mimpi.

Penyadaran seperti itu tentu tak mudah ditempuh. Apalagi jika lembaga pendidikan, termasuk guru, hanya jadi pemasok pengetahuan secara imperatif, doktrinal, dan dogmatis. Bukan fasilitator dan mediator yang memikat dan menyenangkan subjek didik. Guru mengajarkan pentingnya transparansi, misalnya, tapi lembar jawaban siswa ketika mengikuti ulangan atau ujian tak pernah dikembalikan kepada setiap siswa lengkap dengan nilai serta penentuan mana jawaban yang benar dan salah. Guru merazia telepon seluler (ponsel) setiap siswa untuk memastikan tak ada video mesum di ponsel mereka, tapi guru sendiri menyimpannya di laptop mereka. Jadi, tanpa mengutamakan panutan yang riil, penyadaran itu hanya akan hidup di ranah kognitif. Tak merembet ke ranah afektif dan psikomotor.

Penyadaran itu juga tak selayaknya dijadikan beban baru untuk subjek didik. Banyak mata pelajaran harus mereka terima dalam sepekan. Beberapa mata pelajaran menjadi momok bagi banyak subjek ajar. Jika proses pembelajaran makin tak menarik, akan makin banyak mata pelajaran menjadi momok baru. Karena itu, berpikir bahwa korupsi, narkoba, kekerasan, serta pornografi dan pornoaksi dapat dijadikan sebagai mata pelajaran baru ataupun tambahan berpeluang menjadi paradigma yang kontraproduktif.

Kalau kita mau membetot persoalan tersebut ke aras atas (nasional), caranya bukanlah memaksakan materi-materi penyadaran itu sebagai mata pelajaran baru. Materi-materi itu cukuplah disisipkan secara permanen dalam rentang waktu tertentu pada beberapa mata pelajaran tertentu yang diposisikan secara integral. Untuk itu, pada setiap rentang waktu tertentu, pemerintah mesti memiliki strategi kebijakan pendidikan penguatan karakter bangsa, termasuk materi-materi pendidikan yang diprioritaskan pada setiap rentang waktu itu.

Jika tidak, penyisipan itu tak memiliki landasan hukum dan menjadi upaya sambil lalu.

Di sisi lain, strategi kebijakan itu akan membatasi keinginan banyak pihak yang memiliki perhatian besar pada bidang-bidang tertentu untuk menjadikan bidang-bidang tersebut diakomodasi ke dalam kurikulum. Sebab, setiap pihak akan menempatkan bidang perhatiannya sebagai yang terpenting sehingga harus masuk kurikulum. Pada titik itu pula, kurikulum mesti dibingkai dalam pendekatan holistik.
Kalau tidak menjadi bagian dari strategi kebijakan itu, cukuplah kita berharap pada kepekaan setiap lembaga pendidikan dan guru mata pelajaran tertentu menempatkan isu-isu korupsi, narkoba, kekerasan, serta pornografi dan pornoaksi sebagai tema-tema yang dapat dimasukkan ke dalam berbagai kompetensi dasar yang cocok pada mata pelajaran masing-masing. Kalau kepekaan itu tak pernah mengemuka, siap-siaplah kita menerima kenyataan bahwa kita akan makin malu sebagai orang Indonesia.

(Lampung Post, Sabtu, 20 November 2010)

BERITA: Kisah Seru Para TKW

20 November 2010

Ruang tunggu 202 di areal keberangkatan Bandar Udara Internasional Dubai, 11 Oktober lalu, penuh sesak. Bukan bahasa Arab yang ramai terdengar di sini, melainkan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Jawa, Sunda, sampai Batak. Kursi yang ada pun tak cukup, sebagian penghuni ruangan asyik ngobrol sambil menggelesot di lantai.

”Wis lara rung sikilmu? Iki jempol sikilku lara, tak copot wae sandale. (Sudah sakit kakimu? Ini jempol kakiku sudah sakit, saya lepas saja sandalnya),” kata Wati (41) kepada seorang temannya sembari melepaskan sandal berhak yang terlihat amat bersih menandakan masih baru. Tampak buku-buku jari kakinya memerah. Ternyata, hal yang sama menimpa beberapa teman Wati.

”Setelah pasti bisa pulang, kita langsung belanja. Beli-beli kurma, baju, untuk orang rumah sama untuk kita sendiri, termasuk sandal ini,” kata Ngatmi (43), yang bersama Wati akan pulang ke kampung mereka di Kutoarjo.

Wajah Wati ataupun Ngatmi amat cerah. Mereka bahagia bisa segera kembali ke rumah setelah bekerja di Timur Tengah sebagai pembantu rumah tangga (PRT). ”Lega rasanya. Apa pun paling enak ya di rumah sendiri,” kata mereka.

Wati, Ngatmi, dan puluhan perempuan di ruang tunggu itu pantas merasa lega. Mereka telah bekerja sebagai PRT rata-rata tiga bulan sampai dua tahun lebih di Dubai, Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, dan beberapa negara lain di sekitarnya. Rasa kangen terhadap kampung halaman sudah membuncah. Mereka kebetulan tenaga kerja legal yang disalurkan oleh satu agensi yang sama.

Menurut Wati, agensinya berkantor di Jakarta dan di Dubai. Dari Dubai inilah para tenaga kerja disalurkan ke semua wilayah Timur Tengah. Saat tenaga kerja habis masa kontrak kerjanya, ingin berganti majikan, atau akan kembali ke Indonesia, mereka biasanya dikumpulkan dulu di Dubai, sebelum disalurkan bekerja lagi atau dikirim pulang.

”Saya sudah ganti enam kali majikan selama 2,5 tahun di Kuwait. Kadang karena tidak kerasan, terus minta ganti majikan. Penyebab tidak kerasan terbanyak ya soal kekerasan dari majikan,” kata Sa’diyah (38), warga Cimahi.

Ketika pembicaraan merembet ke masalah kekerasan, wajah-wajah para penyumbang devisa bagi Indonesia itu pun langsung mendung. Dari sekitar 40 tenaga kerja perempuan yang Kamis itu akan menuju Jakarta, hampir semuanya pernah merasakan kekerasan selama bekerja.

”Itu si Kokom betis kirinya masih bernanah, bekas disetrika sama majikan perempuannya. Kalau saya, sering dicambuk, di punggung, telapak tangan, atau mana pun sesuka mertua majikan saya,” kata Sa’diyah.

Pakaian disita
Kekerasan fisik, verbal, hingga tindakan ataupun sikap tidak menyenangkan jamak dialami tenaga kerja asal Indonesia, khususnya para perempuan. Kokom, misalnya, perempuan 28 tahun asal Sukabumi itu tak hanya menanggung siksa fisik, tetapi harus rela kehilangan satu tas besar berisi pakaian, foto bayinya, sampai uang Rp 200.000 yang dibawanya dari rumah.

”Semua disita majikan,” katanya.

Ia tidak tahu alasan penyitaan. Namun, pada setiap akhir minggu, Kokom mendapat paket baju, pakaian dalam, dan alat mandi. Jika salah melaksanakan perintah majikan, ia akan dihadiahi bentakan atau siksaan fisik.

Namun, majikannya terkadang amat baik. Kokom pernah diajak ke Paris menemani majikan perempuan, majikan laki-laki, dan dua anak mereka.

Nasib baik dan nasib buruk juga pernah bersamaan menimpa Sa’diyah. Majikan laki-lakinya sudah terkenal suka memerkosa pekerja perempuan di rumahnya. Namun, Sa’diyah lolos dari terkaman nafsu majikan setelah ditolong oleh ibu si majikan sendiri.

”Ibu itu bilang ke saya, pokoknya saya tidak akan dikerjai lagi sama anaknya. Tetapi, ia minta saya tidak lapor ke agensi atau polisi. Ia terus jaga saya selama delapan bulan, bonus uangnya juga banyak,” cerita Sa’diyah yang mengaku dibayar sampai 1.000 dirham setiap bulan atau sekitar Rp 2,5 juta.

Orang-orang seperti Sa’diyah mengaku rela bertahan bekerja karena memang mengejar iming-iming upah. Nilai uang Rp 2 juta-Rp 3,5 juta, upah yang amat menggiurkan bagi mereka. Rata-rata para tenaga kerja perempuan ini sudah memiliki keluarga. Suami mereka tidak bisa memberi kecukupan nafkah, sementara anak-anak dan orangtua mereka amat butuh biaya untuk kehidupan sehari-hari.

Pendidikan formal para perempuan itu maksimal hanya lulus sekolah menengah atas, mempersempit cakupan lowongan kerja. Baik di kampung halaman maupun di luar negeri, tawaran pekerjaan tak jauh-jauh dari pembantu rumah tangga, pelayan toko, atau kerja kasar di pasar. Mau buka usaha, lagi-lagi modal tidak ada. Tidak heran jika para perempuan itu berkeras mau bekerja di luar negeri meski penuh risiko. Harapannya, setelah satu-dua tahun bekerja, mereka bisa pulang membawa modal untuk memulai usaha di kampung.

Minim keterampilan
Latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan Sa’diyah dan kawan-kawannya memperburuk kondisi mereka saat di luar negeri. Meskipun berada di bawah naungan agen penyalur tenaga kerja resmi dan mendapat pelatihan khusus sebelum dikirim ke luar negeri, tetap saja sebagian besar dari mereka mengalami gegar budaya.

”Bahasa Arab yang diajarkan juga sedikit sekali, saya susah ngerti perintah majikan. Apalagi saat mengasuh anak-anak majikan. Susah,” kata Ngatmi.

Kurangnya keterampilan ini turut menghantui mereka saat berada di pesawat. Selama delapan jam perjalanan menembus langit Dubai menuju Jakarta, banyak dari tenaga kerja perempuan ini hanya bisa menatap tak mengerti saat pramugari berbicara dalam bahasa Inggris. Tawaran minum dan makan pun nyaris terlewatkan.

Lain lagi cerita Wati yang saat masuk ke kamar kecil bisa mengunci pintu. Namun, seusai menuntaskan hajat, ia kebingungan membuka pintu. Buntutnya, Wati pun terkunci di dalam kamar kecil pesawat selama hampir 20 menit!

Seorang pramugara dalam bahasa Arab berulang kali mencoba memberi instruksi cara membuka pintu, tetapi Wati menjawab dengan setengah menangis bahwa ia sama sekali tidak paham. Beberapa penumpang yang kebetulan warga Indonesia dan bukan TKI turun tangan membantu Wati. Dengan wajah pucat dan malu, Wati pun akhirnya bebas dari kamar kecil. Sungguh, ironi yang menggelikan sekaligus menyedihkan. (Neli Triana)

(Kompas, Jumat, 19 November 2010)

CERPEN: Di Ujung Belati

20 November 2010

M. Iksaka Banu

 

AUCHMUTY. Samuel Auchmuty. Itu nama Skotlandia biasa. Aku pernah mendengar nama yang lebih aneh. Semula kubayangkan ia gemar berkebun atau menyimpan uang, seperti kebanyakan orang Skotlandia lainnya. Tetapi dalam rapat darurat perwira petang kemarin, Jenderal Jean-Marie Jumel terlihat sangat gelisah saat menceritakan sepak terjang pemilik nama itu kepada kami. Ya, Auchmuty yang ini seorang Mayor Jenderal. Pemimpin armada Inggris di India.

Segera setelah Prancis, yang kemudian dibantu Belanda, bersilang senjata dengan Inggris, nama Samuel Auchmuty melesat naik, meninggalkan jejak panjang mesiu dan darah di setiap tempat yang disinggahinya. Menggentarkan kawan dan lawan.

Celakanya, makhluk mengerikan inilah yang sebentar lagi akan datang menyerbu kami di Weltevreden. Lebih celaka lagi, ternyata dua hari yang lalu ia bersama Lord Minto, dan delapan ribu tentaranya berhasil mendarat di pantai Cilincing tanpa mendapat perlawanan. Memalukan! Belum pernah terjadi dalam sejarah militer manapun bahwa di pagi hari yang terang-benderang, delapan ribu pasukan musuh bisa menepi ke pantai dalam sekoci-sekoci kecil yang santai tanpa diganggu sebutir peluru pun. Bahkan pukul tiga sore, seluruh kekuatan kami di Batavia menyerah tanpa syarat. Aku yakin banyak serdadu kami yang terkencing di celana. Termasuk para perwira.

“Letnan Fabian Grijs, heer,” sebuah panggilan membuatku menengok ke kanan. Seorang pria kurus dalam seragam infanteri muncul dari ujung tangga menara, memberi hormat. Aku tahu, ia tidak serius dengan protokoler itu. Sebulan lalu ia masuk kompiku. Kami menjadi sangat akrab. Kebetulan saja pangkatku lebih tinggi sedikit.

“Manfaatkanlah jatah tidurmu, Sersan Sterk,” setiap menyebut namanya aku selalu geli, karena sangat berlawanan dengan keadaan tubuhnya.

“Sebentar lagi, Letnan. Hanya ingin tahu, mengapa kita dipindah ke atas menara? Siapa menjaga sayap kiri benteng?”

“Jangankan aku, Brigadir von Rantzau pun tak tahu alasannya,” kuedarkan pandangan ke seluruh dinding benteng. Bagian kanan terlindung oleh kanal lebar. Tapi sisi kiri memang tampak menganga. “Tanyakan pada Jenderal Jumel,” sambungku.

“Ah, Prancis pandir itu,” Sterk menekan tawanya sehingga terdengar seperti orang tercekik. “Tak mau belajar bahasa Belanda. Padahal jumlah tentara Belanda di sini jauh lebih banyak daripada Prancis.”

“Jangan mencibir. Baru tiba dari Eropa, ia langsung dijebloskan ke sini. Tentu agak gamang. Soal bahasa, jangan lupa, saat ini Belanda dan Prancis adalah satu negara. Semua bebas menggunakan kedua bahasa itu.”

“Ya, aku hanya ingin mengatakan, kita butuh pemimpin berwibawa. Kalau tidak, habislah kita kali ini. Gubernur Janssens pun tampaknya tak punya kharisma,” wajah Sterk berubah mendung. “Aku sudah menulis surat wasiat untuk istriku sore tadi.”

“Hati-hati. Aku bisa melaporkanmu untuk pernyataan-pernyataan yang sangat tidak patriotik tadi,” aku menggeleng. “Tapi, hei, istrimu pribumi?”

“Ya. Gadis Kemayoran. Manis,” Strek meringis, memamerkan sepasang gigi emasnya. “Tak pernah tahu nama aslinya. Yang jelas, Januari kemarin ia resmi menjadi Johanna Maria Krets setelah melahirkan anakku.”

“Krets? Ah ya, tentu saja. Pembalikan namamu, bukan?” Aku mengangguk. “Kau tergila-gila padanya?”

“Letnan, ia mahir bercinta, dan tidak rewel seperti para betina palsu dari Holland itu,” Sterk mendengus. “Gadis pemerah sapi, di sini jadi nyonya besar. Engkau tidak mengambil gundik, Letnan? Ada istri di Belanda?”

“Belum memikirkan istri,” kuhela napas panjang. “Soal gundik, terus terang aku termasuk pihak yang kurang setuju.”

“Ooh,” Sterk manggut-manggut. “Tentunya kau juga tak suka ini?” Sterk mengeluarkan kantong kecil, lalu dengan cekatan menata daun sirih, pinang, kapur, dan tembakau, sebelum mendorongnya ke dalam mulut. Tak lama kemudian, mulutnya tampak berlumur cairan merah. Aku memalingkan muka. Sterk terbahak.

“Bagaimana kauisi hidupmu, Letnan? Semua kauanggap buruk,” sambung Sterk.

“Sersan, orang Inggris memang congkak, tetapi kurasa mereka benar. Dengan menjaga kemurnian tradisi Barat yang tinggi, penduduk asli akan hormat pada kita. Lihat pasukan Inggris. Berapa banyak prajurit Eropa di sana? Hanya sepertiga. Sisanya adalah laskar Bengal dan Madras dari India, yang setia kepada Raja Inggris,” kataku. “Jadi, bukan kita yang turun, merekalah yang perlahan kita naikkan derajatnya menjadi bangsa beradab.”

“Semoga kau tidak sedang mencoba mengatakan bahwa aku sudah turun derajat lantaran hidup bersama perempuan biadab,” dagu Sterk mengeras.

“Jangan potong kalimatku, bisa salah tangkap walau gagasannya memang ada di situ. Maksudku, lihat laskar Jayengsekar di sana. Aku yakin mereka akan kabur pada kesempatan pertama. Tak ada kesetiaan dan terima kasih. Mengapa? Karena mereka melihat, tuan-tuan mereka bukan orang terhormat yang bisa menjadi teladan. Tuan-tuan mereka memelihara gundik, melakukan kawin campur, serta segala bentuk kebejatan lain.”

Sterk ingin mengatakan sesuatu, namun aku terus bicara: “Hal lain, coba katakan, di mana keagungan sebuah pesta dansa, pertunjukan opera, atau ibadat gereja bila wanitamu datang dengan sarung sebagai pengganti petticoat, sementara dari mulut mereka mengalir cairan merah seperti ini?” kusenggol bibir Sterk dengan telunjuk kanan. Pria itu menepis tanganku.

“Tak ada yang berani menyentuh mulutku, Letnan. Kau harus mati untuk itu. Sungguh!” Sterk mencabut belati dari pinggangnya. “Ini Batavia. Negeri yang panasnya bisa mematangkan telur. Kau ingin memakai pakaian pesta seperti di Versailles atas nama peradaban? Pergilah ke neraka bersama para borjuis itu!” teriaknya. “Bukan soal siapa yang turun atau naik. Mereka tidak setia, karena kita perlakukan mereka seperti hewan. Itu saja!”

Cepat kuhunus belatiku. Menara tempat kami berdiri ini sepi, terpisah agak jauh dari tenda peleton. Walau demikian, bentakan Sterk membuat beberapa serdadu lari memanjat tangga, namun segera berhenti melihat isyarat dariku.

Kembali kuarahkan mata kepada Sterk. Kami berputar-putar cukup lama, mencari peluang untuk menusuk atau menebas, sampai akhirnya bahu kami mulai bergerak naik-turun. Mula-mula pelan, kemudian berubah menjadi guncangan keras mengiringi tawa lebar kami.

“Setan!” makiku sambil masih tergelak. “Besok perang besar, kita ribut soal perempuan dan sirih.”

“Besok kiamat. Sebaiknya cari perempuan malam ini, Letnan,” diiringi tawa panjang Sterk menjauh, bergabung dengan prajurit-prajurit lain yang sejak tadi bertepuk tangan untuk kami. “Tapi aku serius soal kesetiaan pribumi tadi!” teriaknya.

“Pergi!” Aku mengibaskan tangan, kemudian menyusul turun dari menara. Enam serdadu bersenjata menunggu sampai kakiku menginjak anak tangga terakhir, memberi hormat, kemudian naik ke atas benteng. Mereka akan berjaga sampai pagi di sana.

Di dalam tenda, mataku tak kunjung terpicing. Ada laporan bahwa jembatan Ancol yang kami hancurkan telah dibangun kembali, dan pasukan Inggris sedang menuju ke sini dalam jumlah besar. Mampukah menahan mereka? Sterk benar, kami butuh pemimpin macam Napoleon atau Auchmuty untuk mengatur gerombolan kacau yang menamakan diri pasukan Hindia Belanda ini.

Sebenarnya kami pernah punya orang seperti itu. Sayang, baru saja ia pulang ke Belanda. Kutarik lagi belati tadi dari sarungnya. Bukan sembarang belati. Hadiah dari orang itu. Lelaki yang sungguh ingin kuteladani dalam hal disiplin dan strategi. Terutama di saat genting seperti ini.

TIGA tahun lalu, tak lama setelah menjadi Letnan, aku menemani Majoor van Ijzerhard mengawasi pembangunan ruas jalan pos dari Meester Cornelis sampai Kwitang.

Siang itu, para mandor bekerja setengah hati. Ratusan kuli terbawa menjadi tidak disiplin. Bentakan dan makian tak membawa hasil. Padahal kami sudah jauh di belakang jadwal dibandingkan peleton lain yang bekerja di ruas jalan berikutnya.

Maka lepas tengah hari, atas perintah Majoor Ijzerhard, para serdadu diturunkan. Cambuk bermata sembilu segera berputar-putar mencari korban. Dalam tempo singkat satu kilometer jalan rampung dipadatkan. Sayangnya tak berlangsung lama.

Di dekat Paseban, seorang kuli menarik cambuk yang dilecutkan ke atas tubuhnya, membuat si pemilik cambuk terlempar dari punggung kuda, disambut tinju dan tendangan oleh kuli-kuli lainnya. Rekan-rekan serdadu malang itu datang, mengayunkan popor senapan membabi-buta. Seorang kuli retak kepalanya. Keadaan semakin rusuh. Senapan mulai menyalak di sana-sini. Tubuh-tubuh kuli bergelimpangan. Tetapi segera terlihat bahwa kami kalah jumlah. Beberapa kuli berhasil menguasai senapan, lantas membalas tembakan, membuat para serdadu yang jumlahnya hanya satu peleton mundur.

Aku terkepung di antara puluhan kuli. Kudaku entah ke mana. Wajahku kuyup oleh darah akibat lemparan batu. Dan mereka terus melempar, membuatku perlahan-lahan rubuh, nyaris kehilangan kesadaran.

Mendadak kerumunan itu cerai-berai. Ada bias ketakutan di wajah mereka, menemani sepenggal kalimat yang diserukan berulangkali: “Tuan Besar Guntur!”

Aku mendengar banyak letusan senapan, serta teriakan dalam bahasa Belanda. Setelah itu, suasana kembali tenang. Apakah kuli-kuli berhasil dijinakkan? Ingin sekali tahu apa yang terjadi, tapi pandanganku telanjur gelap.

Aku terlonjak bangun setelah merasakan semburan dingin di wajah. Seseorang melemparkan kantung air, dan membiarkan aku meneguk rakus sisa isinya. Ketika aku mendongak, tampaklah orang dahsyat ini di atas kuda putihnya. Ia mengenakan seragam marsekal warna biru laut, dengan epolet keemasan di kedua bahunya. Kerah bajunya penuh bordir sampai batas perut. Di dada kirinya, lencana perak berbentuk bintang besar. Ia melepas topi dan rambut palsunya, sehingga cambang yang hitam melengkung terukir jelas di kedua pipinya, sangat berlawanan dengan rambut depannya yang dipotong lurus di atas dahi. Ini bukan perjumpaan pertama kami. Jadi aku tahu, siapa dia.

“Marsekal Daendels,” sekuat tenaga aku berdiri. “Selamat siang, heer!”

“Catatan karirmu bagus. Tapi tak sepadan dengan kerjamu hari ini, Letnan. Kau kelihatan seperti baru kembali dari neraka,” marsekal menunjuk dahiku. Rupanya seseorang telah berbaik hati membalut lukaku dengan kain selagi aku pingsan tadi.

“Enam serdadu, dan Majoor Ijzerhard luka parah. Tapi hukum harus tetap ditegakkan. Semua, termasuk engkau, harus masuk bui. Belajar mengendalikan massa,” sambung marsekal.

“Siap!” jawabku, sambil berpikir, akan bermuara di mana percakapan ini.

“Lihat,” marsekal menoleh. Kuikuti arah dagunya. Di depan barisan kuli dan serdadu berdiri Sabeni, kepala mandor, dengan tangan terikat ke belakang. Wajahnya lebam. Di ujung kakinya, terbaring sekitar dua puluh mayat kuli.

“Si penghasut,” kata marsekal sambil melemparkan sebilah belati kepadaku. “Buatlah pelajaran yang sulit dilupakan semua yang ada di sini, agar mereka menghormati orang yang sudah memberi mereka hidup.”

Kuamati belati itu. Palangnya dari kuningan. Pegangannya berlapis keramik. Bukan jenis yang biasa dipakai prajurit sebagai sangkur.

“Segera temui atasanmu,” marsekal memutar kuda, lantas menghilang bersama rombongannya di balik pekatnya debu.

Kudekati Sabeni yang dijaga oleh dua serdadu.

“Sabeni,” desisku dalam bahasa Melayu. “Kuangkat kau dari tumpukan sampah, kusantuni keluargamu, kuperbolehkan kau menarik upeti. Inikah ucapan terima kasihmu? Begitu sulitkah untuk setia? Sadarkah kau, hidupmu ada di tanganku? Di ujung belati ini?”

Hening. Seluruh mata tertuju pada belati di tanganku, yang siap terayun. Sabeni tidak berkedip. Matanya mengunci mataku. Anjing! Seharusnya kubongkar ususnya, tapi ternyata belati itu justru menyilang ke atas, menyobek pipi Sabeni, membongkar mata kanannya. Masih terngiang teriakan Sabeni mengiringi darah yang tumpah dari luka itu. Dan kini, teriakan jugalah yang membuat aku tergeragap bangun.

“INGLITIR! INGLITIR!”

Itu teriakan anggota laskar Jayengsekar.

Aku berlari menuju posku di atas benteng. Kuraih teropong. Belum tampak apapun sejauh mata memandang.

“Berapa lama?” kutengok Sterk yang berdiri di belakangku.

“Sudah sampai Molenvliet,” jawabnya. “Baru saja masuk kabar dari mata-mata.”

“Jangan takut. Tandai hari ini dalam hidupmu. Hari ini, 10 Agustus 1811, kita berperang untuk Tuhan, dan harga diri kita!” kutarik pedangku, sambil mencari posisi terbaik agar suaraku terdengar jelas.

Anggota peletonku lima puluh orang. Bersama dua peleton lain, kami menjaga dinding sepanjang seratus meter yang menghadap ke jalan raya. Empat puluh orang akan menembak dan mengisi mesiu bergantian. Sepuluh orang sisanya berdiri paling belakang, siap mengganti yang gugur. Pada latihan terakhir bulan lalu, kecepatan tembak kami boleh dibanggakan.

Di luar itu, secara umum pertahanan kami cukup kuat. Mereka harus berjuang keras bila ingin menyentuh benteng. Jembatan tarik sudah kami hancurkan. Di belakang kanal, ada kubangan lumpur, ditambah empat lapis barikade abatis dari batang jati besar, dan tiga ratus meriam yang berfungsi baik.

Sepanjang siang, tak terjadi apa-apa. Sekitar jam enam petang, kembali hadir teriakan mencekam: “Inglitir! Inglitir!”

Kini bisa kulihat barisan merah di batas cakrawala, bergerak ke arah kami disertai suara genderang. Jantungku berdegup kencang. Jemariku yang basah dan gemetar berusaha mempertahankan genggaman pada hulu pedang. Tidak. Jangan sekarang. Mereka belum masuk jangkauan. Sebentar lagi.

Tiba-tiba terdengar dua ledakan. Lalu sekali lagi. Dinding sebelah kiri tampak menyala. Inggris keparat! Mereka tahu kelemahan kami, dan langsung menggempur titik itu dengan meriam. Syukurlah, sebentar kemudian, artileri kami membalas bertubi-tubi. Kami melihat lumpur dan air di bawah sana bergantian terdorong ke atas, diikuti jerit kematian.

Mana Auchmuty? Mana meriam mereka? Tak ada lagi letusannya. Kupasang teropong. Ternyata masih utuh. Hanya dua? Aku yakin sedikitnya mereka membawa lima meriam jarak jauh. Jelaslah, ini baru pasukan pelopor.

Di garis depan, laskar sepoy India terus maju menerobos barikade dan lumpur. Dua orang berhasil merusak barikade dengan dinamit. Sisanya membuat formasi pendobrak gerbang, tepat di batas jarak tembak kami. Inilah saat yang kunanti.

“Siap!” Aku memberi aba-aba. Demikian juga empat Letnan lain sepanjang sisi atas benteng.

“Bidik!” kuangkat pedangku rata dengan dagu, lalu kuayun ke bawah sambil berseru: “Tembak!”

Letusan senapan yang nyaris serempak membuat sekitar seratus prajurit baju merah di bawah sana berjatuhan seperti kartu domino.

“Isi!” keduapuluh prajuritku mundur selangkah, berlutut mengisi senapan dengan bubuk mesiu, sementara teman mereka di baris ke dua ganti maju.

“Bidik! Tembak! Isi!” Entah sudah berapa puluh kali kuserukan kalimat itu sewaktu datang sebuah goncangan besar yang membuatku terlempar.

Saat siuman, yang pertama kulihat adalah wajah Sterk. Matanya melotot. Cairan merah di mulutnya. Kali ini tentu bukan karena sirih. Di sekelilingku, puluhan serdadu Belanda dan Prancis bergeletakan. Banyak yang tak berlengan atau berkaki. Suara erangan minta tolong menyiksa telinga.

Kucoba bangkit, tapi kedua kakiku sulit menapak. Nyeri luar biasa. Kurasa tulang kakiku patah di banyak tempat. Kuamati sekeliling. Di bawah selimut malam, Benteng Weltevreden terang oleh kobaran api. Mijn God! Mereka berhasil membongkar sisi kiri benteng. Agaknya, untuk melindungi regu penyerang itulah mereka menghujani bagian tengah benteng, tempatku bertugas tadi, dengan peluru meriam.

Kutarik tubuhku ke sebuah istal kosong yang selamat dari amuk api. Dari balik tumpukan jerami, kulihat pasukan dragoners Inggris menyerbu masuk, memburu sisa pasukan kami yang tunggang-langgang. Pedang mereka menyambar-nyambar. Bukan hanya prajurit, perwira menengah pun menjadi korban. Benarlah yang kudengar, tentara Inggris jarang menawan musuh.

Seorang dragoner tiba-tiba membelokkan kudanya ke arahku. Mustahil ia melihatku, jerami ini cukup tinggi. Tak urung hatiku kecut. Beringsut aku masuk lebih ke dalam.

Mendadak seseorang menekuk leherku dari belakang, lalu menyeretku ke ruang penyimpanan dedak yang miskin cahaya. Aku berontak. Sayang tak ada tenaga. Orang itu membanting tubuhku ke sudut ruang, kemudian bergegas keluar. Tak sempat kulihat wajahnya. Tapi seragamnya menjelaskan bahwa ia seorang sepoy, atau sejenis itu. Samar-samar kudengar ia bicara dengan seseorang, disusul langkah kuda menjauh. Dragoner tadikah lawan bicaranya?

Tak lama ia masuk lagi menghampiriku. Dengan lutut kanan ditekannya dadaku, sementara tangan kiri mencengkeram kedua pipi, nyaris membuatku muntah. Aku mendengar suara gesekan, setelah itu kurasakan logam dingin menempel di daguku. Belati!

Sekarang barulah tampak bahwa ia memakai penutup mata kanan. Wajahnya tidak mirip orang India. Hawa mulutnya asam, seperti aroma yang biasa menyapa hidung setiap membuka pintu jamban.

“Tuan, sadarkah kau bahwa hidupmu ada di tanganku? Di ujung belati ini?” terdengar suaranya. Berat dan datar. Suara yang pernah akrab di telingaku.

“Sabeni?”

Ia membisu. Belatinya diputar ke atas. Kemudian lewat sebuah sentakan, benda itu dibawa meluncur turun. Kupejamkan mata. Terdengar bunyi melesak dan getaran di leher. Aku menunggu, syaraf mana yang sebentar lagi mengirim rasa sakit ke otak. Ternyata tak ada. Kubuka mata. Belati itu menancap di kerah jaketku. Sejengkal dari leher.

Sabeni mengendurkan tekanan lututnya lalu menampar wajahku satu kali sebelum beranjak pergi. Di ambang pintu ia membalikkan badan. Dalam gelap, terasa olehku bahwa matanya yang tinggal satu menatap lurus kepadaku, mengiringi suaranya yang berat dan datar: “Terima kasih. Kau telah mengangkatku dari sampah.”

Jakarta, 18 Juli 2010

Catatan: (1) Sterk, kekar. (2) Inglitir, Inggris, dari Ingliterra (Portugis). (3) Sepoy, unit militer Inggris, anggotanya penduduk asli, kebanyakan dari India. (4) Dragoners, pasukan pemusnah.

M. Iksaka Banu bekerja di bidang desain grafis dan periklanan. Lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Bermukim di Jakarta.

(Koran Tempo, Edisi 08 Agustus 2010)

BERITA: Bahasa Hukum Tidak Lugas dan Multitafsir

9 November 2010

Penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang hukum sampai saat ini masih jauh dari harapan. Bahasa Indonesia yang dituangkan dalam peraturan perundangan dan berbagai putusan di bidang hukum kerap mengundang multitafsir dan tak lugas. Hal itu terjadi karena para pembuat aturan dan penegak hukum tak menguasai bahasa Indonesia secara baik.
Di samping itu, minimnya padanan kosakata bahasa Indonesia membuat berbagai dokumen hukum yang ada masih menggunakan bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Belanda.

Untuk itu, para pakar bahasa Indonesia dan pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk merumuskan bahasa hukum yang baku, lugas, singkat, modern, dan mudah dicerna secara jelas, tegas dan tepat.

Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun SP dari pakar hukum perdata Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Bayu Seto Subroto, pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Syafruddin Kalo, pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Soma Wijaya, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta, pakar hukum perdata USU, Prof Dr Tan Kamelo, dan mantan hakim konstitusi Laica Marzuki, baru-baru ini, terkait peringatan 82 tahun Sumpah Pemuda.

Menurut Bayu Seto, peraturan yang multitafsir merupakan gambaran dari kelemahan penguasaan bahasa Indonesia oleh para pembuat aturan dan penegak hukum. Salah satu contohnya adalah putusan hakim yang sering menimbulkan ketidakpastian bagi para pihak yang berperkara. “Keputusan hakim malah menimbulkan perdebatan lebih lanjut. Seharusnya hakim, jaksa, dan pengacara bisa merumuskan semua tuntutan, pandangan, pertahanannya, dalam bahasa Indonesia yang baik dan tidak menimbulkan banyak interpretasi,” tegasnya.

Ketidakmampuan menggunakan bahasa Indonesia juga tampak dalam proses legislasi atau pembuatan produk hukum “Kalau masih ada peraturan yang multitafsir berarti penguasaan bahasanya yang perlu diperhatikan,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan itu, kata Bayu, mahasiswa hukum di kampusnya diwajibkan mengambil mata kuliah bahasa Indonesia dan kemahiran hukum. Mahasiswa diajarkan dasar-dasar penulisan akademik yang benar, dari sisi gramatikal, tata kalimat, serta memahami makna dari kata-kata kunci. Meski masih dianggap kurang, penambahan mata kuliah itu akan membuat lulusannya lebih paham bahasa hukum. “Pendidikan tinggi bidang hukum harus memandang bahasa Indonesia setara dengan bahasa asing. Dengan demikian diharapkan setiap produk hukum bisa mengandung kepastian dan keadilan,” tegasnya.

Sejarah
Senada dengannya, pakar pidana Syafruddin Kalo menilai peranan bahasa Indonesia di bidang hukum masih jauh dari harapan. Dia tidak memungkiri hal tersebut dilatarbelakangi sejarah panjang hukum Indonesia yang mengadopsi hukum Belanda, yang tak lepas dari sistem hukum Romawi. Akibatnya, muncul istilah-istilah hukum yang tidak ditemukan dalam kosakata bahasa Indonesia.

Istilah register dalam pidana kehutanan, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Demikian juga dengan kata merampas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ”Dalam bahasa Belanda, merampas artinya merampok. Tetapi apa bisa dikatakan bahwa negara adalah perampok saat hukum menentukan barang bukti dirampas untuk negara? Kan berbeda maknanya,” tuturnya.

Belum lagi istilah bahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang muncul mengikuti perkembangan zaman. Istilah whistle blower yang muncul dalam kasus mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji. ”Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti whistle blower adalah meniup peluit. Tetapi dalam hukum, tidak ada istilah begitu. Apa meniup peluit bisa dipenjara? Jadi banyak istilah hukum asing yang tidak bisa diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia,” kata guru besar Fakultas Hukum USU ini.

Terkait hal itu, dia berharap pakar bahasa Indonesia bisa selalu mengikuti perkembangan bahasa hukum di negara lain dan mencari padanannya yang tepat, sehingga kosakata bahasa hukum menjadi lebih banyak.

Sedangkan, Soma Wijaya mengatakan penggunaan bahasa Indonesia memang kurang diperhatikan dalam membentuk peraturan perundangan. Hal itu tak lepas dari bahasa hukum yang kerap mempunyai makna yang berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. “Sering ada istilah yang tidak tepat. Untuk itu diperlukan mata kuliah terminologi hukum dalam upaya menerjemahkan istilah hukum agar bisa dibakukan,” katanya.

Hal yang sama disampaikan Frans Hendra Winarta. Menurutnya, penggunaan bahasa Indonesia di bidang hukum masih harus diperbaiki dan disempurnakan lagi. Kebanyakan bahasa hukum baku masih menggunakan istilah asing yang diambil dari bahasa Belanda dan Inggris. Penyebabnya, istilah hukum yang menggunakan kata-kata asing sering kali tidak ada atau sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Sementara, penggunaan kata-kata bahasa Indonesia dalam bahasa hukum juga sering kali tidak tegas dan multitafsir. Akibatnya, dalam praktik kerap terjadi ketidakpastian dan perbedaan penafsiran yang memunculkan polemik hukum.

“Pembuat UU ataupun perjanjian masih sering mengacu pada bahasa Indonesia lama yang kaku dan kuno dan mengacu pada istilah asing. Karena itu, kita harus membuat terobosan dengan mencari bahasa hukum yang baku, lugas, singkat, modern, dan mudah dicerna secara jelas, tegas dan tepat,” ujarnya.

Seiring dengan pesatnya perkembangan hukum nasional, Frans mengusulkan agar pemerintah memperbanyak buku-buku yang memuat istilah-istilah hukum terbaru, baik melalui kamus hukum dan juga buku panduan hukum praktis. Buku-buku itu bisa digunakan, baik oleh praktisi hukum, akademisi, mahasiswa, maupun masyarakat luas. Selain itu, akses untuk mendapatkan informasi atau kamus hukum baku juga harus diperluas dan dipermudah.
Pada kesempatan itu, Frans menuturkan hukum Indonesia yang cenderung mengikuti common law Inggris dan Amerika, harus diikuti dengan pencarian padanan kata yang cocok, sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda yang berdampak pada persoalan hukum.

Bahasa hukum, seharusnya cuma memiliki tujuan, arti, dan implikasi yang sempit. Tujuannya agar tidak terjadi salah tafsir dari suatu perjanjian atau suatu peraturan yang dibuat. Kata-katanya harus tersusun secara jelas dan tegas, serta memberikan gambaran suatu kondisi hukum yang terjadi dan/atau yang mungkin terjadi, sehingga berbagai penyimpangan dapat diminimalisasi.

Makna
“Selain bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, bahasa Indonesia mutlak diajarkan di fakultas hukum, terutama pada jurusan yang mencetak legal drafter. Jika seorang sarjana hukum memiliki penguasaan. bahasa Indonesia maupun bahasa asing yang baik, tingkat pemahaman dan kompetensi pengetahuan hukumnya pasti lebih baik,” ujar Frans.
Sementara itu, Tan Kamelo mengakui bahasa Indonesia memang wajib diajarkan di fakultas hukum. Namun, dia mengingatkan agar pengajaran bahasa Indonesia bukan melulu pada struktur bahasa, tetapi juga makna yang sesuai konteks. Dia mencontohkan penggunaan kata ulang. Dalam struktur bahasa Indonesia, kata berulang diartikan dilakukan beberapa kali. Namun dalam bahasa hukum, belum tentu diartikan begitu, bergantung pada kalimatnya.
”Memang bahasa Indonesia diperlukan mahasiswa fakultas hukum. Tapi bukan mempelajari bagaimana struktur kalimat, seperti zaman sekolah dulu, melainkan membahas bagaimana memaknai bahasa hukum. Memahami hukum bukan hanya dengan membaca undang-undang, melainkan memaknainya secara hukum pula,” ujarnya.

Laica Marzuki pun menyatakan penggunaan bahasa Indonesia dalam bahasa hukum memang belum memadai dan belum secara lengkap memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.” Ini kendala utamanya. Kita harus terus berupaya menyempurnakannya,” kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar ini.

Selain itu, lanjutnya, bahasa Indonesia selain menjadi bahasa hukum, juga harus menjadi bahasa profesi hukum. Untuk itu, bahasa Indonesia sangat penting sekali diajarkan di fakultas hukum. Pengajarnya harus lulusan sastra Indonesia, sehingga mahasiswa hukum tahu cara yang benar menggunakan bahasa hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.

“Jika semua pihak, baik pemerintah, DPR, akademisi, praktisi hukum, maupun masyarakat, mau terus bekerja keras, bukan tidak mungkin semua bahasa hukum yang digunakan sehari-hari nantinya hanya mengacu dan berlandaskan pada bahasa Indonesia saja. Dengan demikian, bahasa hukum mudah dimengerti dan masyarakat juga menjadi melek hukum,” katanya.

(Suara Pembaruan, 26 Oktober 2010)