Archive for the ‘Esai’ category

ESAI: Korupsi Kata

31 Oktober 2011

Iwan Gunadi

Peminat Bahasa Indonesia

Melalui  lagu bertitel “Aku Padamu”, Charly ST 12 berulang-ulang melantunkan dua baris lirik /Biarkanlah saja semua berkata tidak/Yang penting aku padamu/.” Klausa “aku padamu”, baik pada judul maupun lirik, seperti ingin menabalkan kecenderungan pelesapan kata yang sering terjadi pada masyarakat ketika berbahasa. Karena diasumsikan para penyimak lagu dari album Pangeran Cinta tersebut telah memafhumi maksudnya, sebagai penggubah, Charly mungkin merasa tak perlu lagi mencantumkan fungsi predikat yang lazim hadir pada kontruksi klausa seperti itu. Pada baris-baris lirik sebelumnya, dia memang menuliskan kalimat-kalimat secara lengkap. Tak ada kata yang dibuang.

Perbedaan apa yang dilakukan Charly dengan banyak pengguna bahasa Indonesia yang lain mungkin terletak pada faktor kesengajaan. Charly mungkin melakukannya secara sadar dan terukur. Di sisi lain, kalau lirik lagu ditempatkan sebagai karya sastra dalam wujud puisi, kesengajaan itu akan disahkan banyak pihak. Kalaupun pada baris-baris lirik sebelumnya, Charly tak memberikan pembayangan bagaimana mengisi ruang kosong di antara kata aku dan padamu, konstruksi klausa itu tak akan terlalu dipersoalkan. Para pengusung faham pentingnya keambiguan dalam karya sastra akan menilai konstruksi klausa itu telah merayakan faham tersebut atau sekurangnya berpotensi mengarah ke sana.

Sementara, banyak pengguna bahasa Indonesia yang lain mungkin melakukan pelesapan kata dalam suatu kontruksi frase, klausa, atau kalimat tertentu lantaran khilaf. Atau, boleh jadi, mereka tidak khilaf, tapi tak menyadari bahwa wilayah berbahasa mereka tak sama dengan wilayah berbahasa Charly. Wilayah berbahasa mereka menuntut cara berbahasa yang lugas, terang, dan lengkap supaya informasi yang ingin disampaikan tidak bias.

Karena tak menyadari medan berbahasa, dengan enteng, mereka merasa cukup mengucap atau menulis kata asing sebagai ajektiva untuk maksud frase pihak asing sebagai nomina. Sesuai dengan konteks wacananya, kata pihak tersebut bisa merujuk ke berbagai hal: investor, perusahaan, produk, negara, dan sebagainya. Tapi, anehnya, ketika rujukannya adalah orang, pengguna bahasa Indonesia yang terbiasa melesapkan kata itu mengucap atau menulisnya secara lengkap: orang asing.

Ada sejumlah kata lain yang setara dengan kata asing yang juga sering diperlakukan sama, yakni awam, internal, dan swasta. Orang awam atau masyarakat awam cukup diucap atau ditulis dengan awam. Pihak internal atau kalangan internal hanya diwaliki dengan internal. Begitu juga dengan swasta. Bukan pihak swasta, kalangan swasta, atau perusahaan swasta, kecuali sekolah swasta atau guru (sekolah) swasta. Yang lebih langka disebutkan secara lengkap adalah frase pihak manajemen untuk maksud personalia manajemen suatu organisasi. Sangat banyak orang memotongnya dengan hanya menyebut manajemen yang tentu makna umumnya adalah proses mengelola atau pengelolaan.

Pada kancah politik, politikus, pejabat, pengamat, dan pewarta berita di negeri ini lebih senang cuma menyebut kata legislatif ketimbang sebutan lengkapnya, lembaga legislatif atau badan legislatif, yang merujuk pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada bidang ekonomi, khususnya perbankan, bankir, pejabat, pengamat, dan pewarta berita juga terbiasa menyebut otoritas moneter untuk maksud pemangku otoritas moneter atau pemilik otoritas moneter dengan rujukan Bank Indonesia (BI).

Bias makna makin melebar ketika tak sedikit orang cukup mengucap atau menulis frase menengah atas untuk maksud kalangan menengah ke atas, masyakarat kelas ekonomi menengah ke atas, atau masyarakat kelas sosial menengah ke atas. Sepintas, frase menengah atas semakna dengan frase menengah ke atas. Tapi, penyimak atau pembaca yang jeli cenderung akan memaknai frase menengah atas sebagai bagian tengah dari kelompok atas, sedangkan frase menengah ke atas cenderung diartikan sebagai rentang bagian atau kelompok mulai dari bagian atau kelompok tengah hingga bagian atau kelompok atas. Di titik itu, kesalahan logika sesungguhnya sudah terjadi di sana.

Tapi, kalau memang tak mau mengorupsi kata dan makna tak terlalu banyak, kenapa tak memilih menggunakan kata tengah untuk frase tengah atas atau tengah ke atas dengan makna masing-masing? Selain paralel karena sama-sama menggunakan kata dasar, makna kata tengah pada frase-frase tersebut dapat dibedakan secara tegas dari kata menengah yang bisa pula berarti bergerak ke tengah.

Kesalahan logika terasa makin kuat ketika banyak orang—terutama pewarta berita—juga hanya menyebut kata media untuk maksud pewarta berita media massa. Misalnya, Pengumuman itu disampaikannya di hadapan puluhan media. Ketika yang ditujunya sebenarnya adalah pewarta berita media massa cetak, yang disebut pun tetap kata media. Padahal, mereka tahu bahwa kata media berarti perantara atau penghubung. Ada sejumlah frase yang dapat dibentuk dengan menggunakan kata tersebut, termasuk media massa. Frase tersebut pun dapat dipilah lagi sekurangnya menjadi frase media massa elektronik dan frase media massa cetak. Kalau mau dipilah lagi menjadi lebih khusus, silakan saja.

Namun, pada saat yang sama, kita mestinya merasakan bahwa makin banyak kata dan makna yang telah kita korupsi. Kalau kata dan makna saja dikorupsi, apalagi dana dan harta. Atau, semua itu pertanda bahwa kita senang berhemat, meski imbas krisis moneter pada 1998 belum benar-benar berlalu dan krisis baru siap mengancam serta keserakahan makin sering ditunjukkan banyak orang kaya?*

(Harian Suara Pembaruan, 29 Oktober 2011.)

ESAI: Pendidikan untuk Tak Menekuk Muka

20 November 2010

Iwan Gunadi
Alumnus IKIP Jakarta dan mantan guru

Tahun 1998, Taufiq Ismail menulis puisi berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI). Puisi tersebut sering dipentaskannya dengan pengkhayatan yang kuat, termasuk dengan suara bergetar dan kadang-kadang mata berkaca-kaca, di berbagai tempat dan kesempatan. Cara pembacaan yang menyentuh plus kontekstualnya kontennya dengan realitas di negeri ini membuat puisi itu menjadi salah satu puisi yang populer.

MAJOI mengisahkan perubahan sikap “aku” lirik dari semula bangga menjadi malu sebagai orang Indonesia. Bangga sebagai “anak revolusi Indonesia” yang diakui dunia. Malu karena budi pekerti hanya ada di kitab suci dan “langit akhlak roboh, di atas negeriku berserak-serak”: “hukum tak tegak, doyong berderak-derak”, “selingkuh birokrasi”, kongkalikong penghitungan suara pemilihan umum, tawar-menawar keputusan pengadilan, serta kekerasan di mana-mana.

Ketika keluarga mulai menjadi sekadar lembaga perikatan darah atau keturunan dan rumah hanya menjadi tempat singgah untuk istirahat, termasuk tidur, dunia pendidikan—terutama lembaga pendidikan formal—selayaknya mampu menjadi jangkar yang efektif untuk mengembalikan kebanggaan yang hilang sebagaimana didedahkan Taufiq Ismail dalam MAJOI. Sekurangnya, lembaga pendidikan formal mulai dari aras terendah hingga tertinggi dapat merangsang dan memperkuat potensi-potensi subjek didik untuk memiliki sikap antikorupsi, antinarkoba, antikekerasan, serta antipornografi dan pornoaksi. Sebab, keempat aspek itulah yang menjadi penentu utama keberlangsungan dan kewibawaan bangsa ini ke depan, termasuk keberanian mengangkat wajah atau menekuk muka.

Pembaruan pendidikan semestinya tak hanya berupaya menguatkan pengembangan kompetensi kecerdasan dan keterampilan, tapi juga menguatkan kompetensi moralitas, religiositas, dan spiritualitas subjek didik. Sayangnya, beberapa tahun terakhir, standar kompetensi telah direduksi hanya meliputi pengetahuan dan keterampilan. Padahal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mencakup juga sikap.

Subjek didik tak hanya disiapkan untuk memasuki aras pendidikan yang lebih tinggi atau mampu bersaing di dunia kerja, tapi juga mampu menjadi calon agen pencerahan nilai-nilai kemanusiaan pada masa depan. Dengan demikian, kelak, subjek didik benar-benar menjadi agen perubahan peradaban yang komplet dan utuh, yang mencari, menemukan, dan memraktikkan ilmu dengan fondasi moralitas, religiositas, dan spiritualitas. Kalau meminjam sebagian paradigma Kiai Ahmad Dahlan ketika berpidato pada Konggres Muhammadiyah 1922, subjek didik sungguh-sungguh menjadi agen perubahan peradaban yang komplet dan utuh dengan akal, hati, dan perilaku yang suci.

Di rumah, subjek didik mampu menjadi anggota rumah tangga yang menghormati orang tua, tapi tetap kritis menyikapi setiap keputusan orang tua dan berbagai kondisi yang terjadi di rumah. Kekritisan tersebut digerakkan dengan basis bahwa kehormatan atau martabat keluarga tak bergantung pada pencapaian-pencapaian fisik semata, tapi lebih penting dari itu adalah kualitas moralitas, religiositas, dan spiritualitas setiap anggotanya.

Karena itu, ketika orang tua mampu menyediakan fasilitas yang mewah kepada anak-anak, padahal bapak dan ibu mereka hanya pegawai negeri sipil yang tak memiliki jabatan atau sekadar pejabat level bawah, misalnya, subjek didik sekurangnya mampu bertanya secara santun kenapa orang tuanya semampu itu. Jangan sampai kejadian lagi, misalnya, anak belasan tahun memiliki rekening di bank dengan saldo miliaran rupiah. Kalau memang orang tuanya memiliki uang melimpah dan khawatir uang tersebut melewati batas penjaminan jika ditempatkan di satu rekening bank, kenapa mereka tak memecah dana yang melimpah itu ke dalam beberapa rekening di sejumlah bank berbeda atas nama mereka sendiri atau badan usaha yang mereka miliki, misalnya?

Di lingkungan pergaulan, subjek didik juga mampu menjadi sahabat yang mengasyikkan selain sekurangnya bisa menjadi pengingat yang mengasyikkan juga bagi temannya dari perilaku-perilaku yang berseberangan dengan etika dan hukum. Menuntaskan rasa ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru memang menantang. Akan tetapi, kalau penuntasan atau pencobaan tersebut dilakoni untuk sesuatu yang jelas-jelas tak bernilai positif, seperti narkoba, apa biaya penuntasan atau pencobaan itu tak terlalu mahal karena taruhannya rumah sakit, penjara, atau bahkan nyawa?

Kalau peran-peran seperti itu tak sanggup dilakoni, sekurangnya, subjek didik dapat menjaga dan memuliakan tubuh, kepala, dan hatinya sendiri dari kontaminasi sikap dan perilaku korupsi, penghalalan narkoba, kekerasan, serta pornografi dan pornoaksi. Menjerumuskan tubuh, kepala, dan hati ke dalam sikap dan perilaku tersebut merupakan pekerjaan mudah. Sebaliknya, pembebasan setelah terjerumus sering hanya menjadi mimpi.

Penyadaran seperti itu tentu tak mudah ditempuh. Apalagi jika lembaga pendidikan, termasuk guru, hanya jadi pemasok pengetahuan secara imperatif, doktrinal, dan dogmatis. Bukan fasilitator dan mediator yang memikat dan menyenangkan subjek didik. Guru mengajarkan pentingnya transparansi, misalnya, tapi lembar jawaban siswa ketika mengikuti ulangan atau ujian tak pernah dikembalikan kepada setiap siswa lengkap dengan nilai serta penentuan mana jawaban yang benar dan salah. Guru merazia telepon seluler (ponsel) setiap siswa untuk memastikan tak ada video mesum di ponsel mereka, tapi guru sendiri menyimpannya di laptop mereka. Jadi, tanpa mengutamakan panutan yang riil, penyadaran itu hanya akan hidup di ranah kognitif. Tak merembet ke ranah afektif dan psikomotor.

Penyadaran itu juga tak selayaknya dijadikan beban baru untuk subjek didik. Banyak mata pelajaran harus mereka terima dalam sepekan. Beberapa mata pelajaran menjadi momok bagi banyak subjek ajar. Jika proses pembelajaran makin tak menarik, akan makin banyak mata pelajaran menjadi momok baru. Karena itu, berpikir bahwa korupsi, narkoba, kekerasan, serta pornografi dan pornoaksi dapat dijadikan sebagai mata pelajaran baru ataupun tambahan berpeluang menjadi paradigma yang kontraproduktif.

Kalau kita mau membetot persoalan tersebut ke aras atas (nasional), caranya bukanlah memaksakan materi-materi penyadaran itu sebagai mata pelajaran baru. Materi-materi itu cukuplah disisipkan secara permanen dalam rentang waktu tertentu pada beberapa mata pelajaran tertentu yang diposisikan secara integral. Untuk itu, pada setiap rentang waktu tertentu, pemerintah mesti memiliki strategi kebijakan pendidikan penguatan karakter bangsa, termasuk materi-materi pendidikan yang diprioritaskan pada setiap rentang waktu itu.

Jika tidak, penyisipan itu tak memiliki landasan hukum dan menjadi upaya sambil lalu.

Di sisi lain, strategi kebijakan itu akan membatasi keinginan banyak pihak yang memiliki perhatian besar pada bidang-bidang tertentu untuk menjadikan bidang-bidang tersebut diakomodasi ke dalam kurikulum. Sebab, setiap pihak akan menempatkan bidang perhatiannya sebagai yang terpenting sehingga harus masuk kurikulum. Pada titik itu pula, kurikulum mesti dibingkai dalam pendekatan holistik.
Kalau tidak menjadi bagian dari strategi kebijakan itu, cukuplah kita berharap pada kepekaan setiap lembaga pendidikan dan guru mata pelajaran tertentu menempatkan isu-isu korupsi, narkoba, kekerasan, serta pornografi dan pornoaksi sebagai tema-tema yang dapat dimasukkan ke dalam berbagai kompetensi dasar yang cocok pada mata pelajaran masing-masing. Kalau kepekaan itu tak pernah mengemuka, siap-siaplah kita menerima kenyataan bahwa kita akan makin malu sebagai orang Indonesia.

(Lampung Post, Sabtu, 20 November 2010)

ESAI: Komunitas Sastra di Indonesia: Tumbuk Bak Cendawan, Sirna Laksana Asap

7 November 2010

Iwan Gunadi

Seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia heran ketika ber¬kunjung ke Universitas Leiden, Belanda, beberapa tahun lalu. Ia heran bukan lantaran koleksi kar-ya-karya sastra lama Indonesia di sana jauh lebih lengkap ketimbang di negeri¬nya. Banyak kalangan, terutama para akademisi, sudah lama memaf¬humi¬nya. Kolonialisme, inilah yang kemudian sering muncul sebagai tumbal argumentasi.

Tentu, bukan hal itu yang membuatnya heran. Mereka pun lebih lengkap mengoleksi karya-karya sastra mutakhir terbitan pelbagai komunitas sastra di Indonesia. Rupanya, itulah biang keladi keheranannya. Maklum, di almamaternya sendiri, ia merasa tak mudah menemukan karya sastra semacam itu. Padahal, pelbagai karya sastra itu diterbitkan paling lama sekitar 1995. Ia sendiri kemudian betah di Universitas Leiden untuk memperdalam ilmu dan meneliti sampai sekarang.

Cendawan di Musim Hujan
Memang, sejak awal 1980-an, di Indonesia tumbuh ba¬nyak komunitas sastra. Kalau kita pakai perumpamaan klise, fenomena ter¬se¬but bak cendawan di musim hujan. Pemetaan yang dilakukan Komunitas Sas¬tra Indonesia (KSI) untuk Litbang Harian Kompas (Jakarta) pada 1997 saja berhasil me¬ngum¬pul¬kan informasi dari 54 komunitas sastra yang tumbuh dan atau masih aktif di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Dari jumlah tersebut, yang berhasil dipetakan ada 46 komunitas sastra. Jumlah tersebut saja melebihi jumlah 35 organisasi yang mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang digelar di Jakarta pada awal Maret 1964. Artinya, selama 33 tahun, jumlah komunitas sastra di wilayah yang lebih sempit sudah melebihi jumlah komunitas di wilayah yang jauh lebih luas, walau mungkin di wilayah yang lebih luas tersebut masih banyak komunitas sastra yang tidak turut konferensi tersebut.

Kalau wilayahnya kita perluas sampai seluruh Indonesia dengan ren¬tang waktu sama (1997), jumlahnya bisa ratusan atau bahkan lebih. Apalagi jika rentang waktunya diperpanjang melebihi tahun tersebut. Melani Budianta, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, pada diskusi “Mencermati Sastra Subkultur Kita” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Jakarta, 31 Mei 2001, memperkirakan bahwa pada saat itu jumlah komunitas sastra di Indonesia lebih dari 200 dan 75 di antaranya berada di Jakarta. Jumlah tersebut pun belum termasuk komunitas sastra yang dibentuk di kampus-kampus perguruan tinggi.

Kalau rentang waktu untuk taksiran Melani diperpanjang ke depan hingga 2010, misalnya, jumlahnya jauh di atas angka itu. Krisis moneter (krismon) pada 1997 yang berkembang menjadi krisis multidimensi, lalu berujung dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada 21 Mei 1998, menyorongkan ruang yang luas untuk tumbuhnya kelompok-kelompok, termasuk kelompok kesusastraan. Krismon membangkrutkan banyak perusahaan dan menciptakan pengangguran di mana-mana. Mengamen menjadi salah satu cara bagi para pengangguran untuk bertahan hidup. Dari sana, muncullah aktivitas pementasan karya sastra, terutama puisi, di atas moda transportasi darat. Keguyuban di antara para pelakunya melahirkan sejumlah komunitas sastra. Tumbuhnya ratusan media massa sejak 1998 setelah Menteri Penerangan Kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden Baharuddin Jusuf (B.J.) Habibie, M. Yunus Yosfiah, membuka keran kebebasan penerbitan media massa tentu turut merangsang ramainya komunitas sastra. Begitu juga pencabutan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), terutama komunitas sastra yang berbasis warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.

Kalau kita sepakat dengan asumsi bahwa komunitas teater, komunitas seni secara umum, atau komunitas nonseni tak terlepas atau tak jarang juga melakukan ak¬tivitas sastra, jumlah “komunitas sastra” tentu lebih banyak lagi. Maklum, jumlah aktivitas sastra seolah tak pernah menyusut. Penyelenggaranya tentu tak hanya komunitas sastra, tapi juga komunitas seni yang lain atau bahkan komunitas nonseni yang punya perhatian atau minat terhadap sastra. Apalagi, tak sedikit pekerja sastra yang juga berteater, berseni rupa, dan ataupun menggeluti atau sekurangnya meminati cabang kesenian lain ataupun sebaliknya, tak sedikit orang di luar pekerja sastra menggeluti atau sekurangnya meminati sastra. Kenyataan tersebut juga kembali menambah deret panjang “komunitas sastra”. Kalau ingin bukti, tengok saja buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000, misalnya. Dari 3.869 komunitas seni budaya di Indonesia yang berhasil dicacat hingga 1999, komunitas yang melakukan aktivitas sastra melebihi angka taksiran Melani tadi. Mereka bukan hanya komunitas sastra, tapi komunitas cabang kesenian yang lain, komunitas seni secara umum, atau bahkan komunitas budaya.

Data yang mencengangkan dapat dilihat pada hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS)—sekarang, namanya Badan Pusat Statistik (BPS). Selama 1993-2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organsasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, dan sastra. Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total organisasi kesenian itu.

Penyebaran berbagai komunitas sastra itu tak merata. Pulau Jawa menjadi wilayah yang paling banyak memiliki organisasi kesenian di bidang kesusastraan. Provinsi-provinsi di Maluku dan Papua diperkirakan sebagai wilayah yang paling sedikit memiliki komunitas sastra.

Perubahan Politik, Sosial, dan Ekonomi
Kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir itu tentu tak lepas dari kondisi politik, sosial, dan ekonomi selama rentang waktu tersebut. Selama itu, masyarakat Indonesia mengenal dua tipe kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang berbeda. Selama 20 tahun hingga Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI, masyarakat Indonesia hidup dalam hegemoni negara, yang direpresentasikan oleh pemerintahan Soeharto dengan aktor tunggal Soeharto sendiri. Rentang waktu tersebut merupakan bagian utama dari 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto yang berkuasa secara otoriter. Selama 32 tahun rezim Orde Baru tersebut, kekuatan negara lebih besar ketimbang pengaruh masyarakat. Bahkan, banyak analis politik dan sosial menilai masa tersebut sebagai periode ketertekanan masyarakat yang teramat sangat, terutama sejak 1980-an.

Dengan posisi yang lebih kuat itu, negara mampu mengambil sejumlah langkah kebijakan politik untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Akibatnya, pada awal 1980, Pemerintah Indonesia telah berhasil melemahkan semua potensi kritis masyarakat. Masyarakat tak lagi berani berseberangan atau berbeda paham dengan pemerintah. Sebab, kontrol pemerintah ditebar di mana-mana. Masyarakat seperti hidup dalam rumah kaca.

Kalau akhirnya masyarakat seperti menerima kondisi represif tersebut, hal itu lebih karena efektifnya pengaruh candu ekonomi yang ditiupkan rezim Soeharto. Tapi, di luar keterbiusan oleh candu ekonomi, masyarakat sesungguhnya tak sepenuhnya menerima represi negara dengan diam seribu bahasa. Kelompok masyarakat yang kritis membentuk kelompok-kelompok kecil yang bergerak secara informal di luar wilayah-wilayah yang mudah dikontrol penguasa. Begitu juga dengan kelompok-kelompok kesenian, termasuk kelompok kesusastraan. Mulanya mereka tumbuh di taman-taman budaya yang dibangun pemerintah, tapi kemudian menyebar ke luar setelah taman-taman budaya berubah menjadi pusat-pusat kesenian. Maraknya pertumbuhan komunitas sastra di luar pusat-pusat kesenian itu boleh jadi merupakan upaya berkelit dari represi negara terhadap para warganya serta tak lepas dari munculnya kesadaran kolektif yang lebih meluas pada 1980-an dan lebih-lebih pada 1990-an untuk tak lagi menempatkan Jakarta sebagai barometer standar estetika kesusastraan Indonesia.

Belum lagi perkembangan teknologi informasi (TI) memberikan kesempatan yang nyaris tanpa batas yang disediakan situs-situs web sastra, blog sastra, mailing list (milis), ataupun situs jaringan sosial seperti friendster (www.friendster.com) dan facebook (www.facebook.com) di dunia maya alias internet yang mulai tumbuh sebelum krisis moneter pada pertengahan 1997. Dunia maya kemudian tak hanya menjadi wadah untuk menyosialisasikan karya sastra, tapi juga menjadi wadah untuk saling berinteraksi: mulai dari berdiskusi, berdebat, bergunjing, tukar informasi, apresiasi interaktif, atau sekadar berkenalan di antara orang-orang yang menyenangi, meminati, dan atau memahami karya sastra. Sejak itulah, komunitas-komunitas sastra di dunia maya, yang kemudian ditengarai sebagai komunitas sibersastra, bermunculan memperkaya ragam komunitas sastra.

Jalan Pintas Legitimasi Kesastrawanan
Awalnya, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia itu dicurigai dilatari kecenderungan seperti ini: seseorang yang merasa belum menjadi sastrawan menjadikan komunitas sastra sebagai “kendaraan” yang akan menyulapnya sebagai sastrawan. Komunitas sastra berperan sebagai legitimator status “kesastrawanan”. Atau, seseorang yang sudah merasa menjadi sastrawan menjadikannya sebagai “kendaraan” yang akan menguatkannya sebagai sastrawan besar. Besar di sini dapat bermakna sastrawan yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, yang berpotensi memopulerkan namanya. Atau, besar juga dapat berarti nama besar yang dihasilkan dari politik sastra yang ditempuhnya, bukan lantaran karya-karyanya. Bahkan, boleh jadi, karya-karyanya tak seberapa atau bahkan bermutu rendah. Tapi, karena aktivitas politik sastranya lebih heboh, namanya menjadi besar dan terkenal.

Fenomena semacam itu mengemuka lantaran tak sedikit komunitas sastra dibentuk dengan relasi yang tidak imbang antaranggotanya. Dalam bahasa politik, ia dikenal sebagai kekuasaan. Relasi yang tidak imbang tersebut mungkin lahir lantaran komunitas sastra itu sejak awal memang berfungsi sebagai sanggar atau wadah pembibitan atau pelatihan. Dalam kondisi demikian, potensi konflik antarkepentingan mungkin lebih kecil untuk terjadi atau bahkan tak ada celah. Sebab, komunitas semacam itu memang dibangun dengan kesadaran bahwa relasi antaranggotanya memang timpang alias tidak imbang. Tak heran bila pihak yang terdominasi atau terhegemoni kekuasaan itu tak merasa dirugikan. Kekuasaan dengan citra positif sebagaimana dipahami Michel Foucault tampaknya cocok untuk kondisi seperti itu.
Dalam relasi tak imbang seperti itu, biasanya, ada pemuka yang berperan sebagai pusat kekuasaan. Seluruh instrumen komunitas berputar dalam hegemoninya. Seluruh anggota komunitas biasanya berusaha mengidentifikasi diri sesuai dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. Walaupun mungkin sang pemuka tak menghendaki hal-hal semacam itu terjadi, sikap feodalistik para anggota tak jarang membuat mereka sungkan atau “takut” mengidentifikasi diri menjadi sesuatu yang bertentangan dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. “Takut” dinilai tak sopan, tak tahu diri, dan semacamnya seolah-olah telah menjadi senjata yang dibikin mereka sendiri untuk membunuh keakuannya. Padahal, di sisi lain, di antara mereka banyak yang menyadari bahwa keakuan merupakan salah satu senjata kesenimanan, termasuk kesastrawanan.

Kecenderungan seperti itu terjadi pada banyak komunitas besar. Ada seseorang yang menjadi as atau pusat. Semua orang yang ada di sekitar atau sekelilingnya mencoba mengidentifikasi diri seperti sang pusat. Tak heran kalau kemampuan kritis mereka terhadap sang pusat majal. Kalau hal ini terjadi, pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra selama 30 tahun terakhir terasa paradoks.

Di satu sisi, kehadiran pelbagai komunitas sastra itu seperti ingin menegasikan apa yang selama ini disebut pusat: Taman Ismail Marzuki di antara taman-taman kesenian lain, Jakarta di antara propinsi-provinsi lain, Majalah Horison di antara majalah-majalah lain atau Majalah Horison sebagai sebuah kesendirian, rubrik seni dan budaya Harian Kompas pada edisi Minggu di antara harian-harian lain yang memiliki rubrik yang sama, dan seterusnya.

Namun, di sisi lain, kehadiran pelbagai komunitas sastra seperti menciptakan pusat-pusat baru. Bedanya, pusat pertama bersifat institusional yang beragam. Karena itu, sifat acuannya pun samar. Karena acuannya samar, setiap proses kreatif yang mengacu kepadanya masih memiliki potensi keanekaan yang lebih luas. Sedangkan, pusat kedua bersifat personal individual. Karena itu, referennya tegas dan tunggal. Karenanya, setiap proses kreatif yang bertolak darinya memiliki peluang yang lebih sempit untuk menjadi penuh warna. Boleh jadi, hasil dari setiap proses kreatif itu hanyalah manifestasi dari isi kepala sang pusat atau varian-varian yang hanya sedikit berbeda dari karya-karya kreatif sang pusat. Kalau hal tersebut yang terjadi, pusat-pusat baru yang personal individual ini tentu “lebih berbahaya” untuk suatu kreativitas dan inovasitas.

Sementara, bila relasi yang tidak imbang itu lahir bukan karena konsekuensi bentuk komunitas sastra, ketimpangan itu muncul biasanya lantaran pihak pendominasi atau penghegemoni memiliki kemampuan menjalin hubungan antarpersonal dan jaringan yang lebih luas. Ada juga memang sejumlah komunitas dengan hubungan antaranggota yang timpang karena pihak pendominasi atau penghegemoni memang memiliki pengetahuan sastra dan kemampuan menghasilkan karya sastra yang lebih baik. Tapi, yang terakhir ini tampaknya jauh lebih sedikit dari yang pertama. Komunitas sastra model pertama itu sendiri biasanya dibentuk lebih karena inisiatif pihak pendominasi atau penghegemoni. Dalam kondisi seperti itu, konflik antarkepentingan lebih berpeluang terjadi. Kalau hal ini mencuat, komunitas sastra tersebut terancam bubar.

Ancaman yang sama juga dapat membayangi komunitas sastra yang bersandar pada satu figur tertentu sebagai pusat segalanya. Tapi, ancaman tersebut tak dilatarbelakangi konflik yang tajam antaranggota. Sebab, dalam komunitas dengan pusat satu tokoh tertentu, keberlangsungan hidup komunitas sastra cenderung tak dipengaruhi ada tidaknya konflik antaranggota. Apalagi bila konflik itu tak melibatkan sang pemuka atau sang pusat.

Akhirnya, ancaman bubar bagi komunitas sastra semacam itu biasanya hanya muncul dari sang pemuka sendiri. Keberadaan komunitas sastra tetap akan terjaga dan bergairah selama sang pemuka tetap bergairah pula. Kalau sang pemuka tak lagi bergairah atau bahkan meninggal dunia, komunitas sastra itu dapat lebih dipastikan akan terancam bubar.

Puisi Bergemuruh, Karya Melimpah
Nah, dalam deretan panjang komunitas sastra tadi, banyak sastrawan berkarya. Mereka begitu bergairah menghasilkan karya sastra, terutama puisi. Bahkan, akibat begitu banyaknya, ada yang mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia sedang mengalami inflasi penyair dan booming puisi. Karena banyak orang menciptakan puisi, predikat “penyair” pun disandang banyak orang. Boleh dikatakan, puisi, penyair, dan komunitas sastra mengalami booming serempak selama 1990-an. Booming yang muncul lantaran adanya keterkaitan kuat di antara ketiganya. Pemetaan yang dilakukan KSI tadi menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek saja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual.
Sayangnya, semua itu hanya mampu diakses segelintir orang. Masyarakat luas tak mampu mengaksesnya. Satu hal itu terjadi lantaran masyarakat Indonesia tentu bukan pemburu buku. Dua, ketakmampuan mengakses tersebut terjadi lantaran karya-karya itu umumnya dicetak sangat terbatas. Bahkan, ada yang difotokopi hanya puluhan eksemplar.
Tiga, penyebarannya sangat sempit. Biasanya karya-karya itu hanya beredar dalam sejumlah komunitas yang memiliki jaringan dengan penerbit atau penulisnya. Paling sial—dan ini tak jarang terjadi—karya-karya itu hanya dinikmati anggota komunitas penerbitnya. Empat, kesadaran mereka untuk mendaftarkan karya-karya cipta itu sangat tipis. Akhirnya, pelbagai karya sastra lahir di pelbagai komunitas sastra bak cendawan di musim hujan dan jejaknya hilang laksana asap.

Puisi Dibaca, Diskusi Digelar
Lebih banyak komunitas sastra dengan kegiatan utama berdiskusi ketimbang komunitas sastra dengan kegiatan utama pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi (baca: deklamasi), musikalisasi puisi, atau teaterisasi puisi. Tapi, hal itu bukan jaminan bahwa kegiatan berdiskusi lebih banyak dilakukan ketimbang pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi.

Yang justru terjadi adalah sebaliknya: pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi, mendominasi pelbagai kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas sastra di seluruh Indonesia. Diskusi formal atau informal, seminar, saresehan, pelatihan, penerbitan buku, dan jenis kegiatan lain tentang sastra yang diselenggarakan komunitas-komunitas sastra hampir selalu diselingi dengan kegiatan pementasan karya sastra, khususnya pembacan puisi. Bahkan, diskusi, seminar, saresehan, dan pidato yang membahas bukan tentang sastra tak jarang diselingi dengan aktivitas pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi. Banyak demonstrasi buruh dan mahasiswa diselingi pembacaan puisi, termasuk demonstrasi mahasiswa yang akhirnya memaksa Soeharto mundur sebagai Presiden RI.
Kegairahan membaca atau mementaskan karya sastra seperti didedahkan di atas tentu tak lepas dari relatif terjaminnya kebebasan berekspresi. Di sisi lain, sambil meminjam terminologi dari buku Walter J. Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, A. Teew pernah menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia terimpit dilema di antara kelisanan dan keberaksaraan dengan kenyataan yang jauh lebih kompleks.

Kegiatan lain yang dominan dilakukan pelbagai komunitas sastra di Indonesia adalah berdiskusi. Ada sejumlah bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai berdiskusi dalam pembahasan ini. Mulai dari mengobrol, berdebat, seminar, saresehan, kongres, hingga bentuk-bentuk lain perbincangan yang memungkinkan peserta bertukar informasi, pikiran, dan perasaan; serta menyampaikan dan menerima pujian, tanggapan, saran, kritik, atau celaan dalam suatu topik tertentu.

Tak seperti kegiatan pembacaan atau pementasan karya sastra, kegiatan berdiskusi tak selalu hadir pada setiap kegiatan sastra. Selain sebagai kegiatan mandiri, kegiatan berdiskusi umumnya hadir pada kegiatan sastra dengan cakupan yang lebih luas. Pada pertemuan seperti itu, berdiskusi kerapkali menjadi kegiatan utama. Ada lumayan banyak nama yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan seperti itu. Misalnya, dialog sastra, forum sastra atau sastrawan, festival sastra, jambore sastra, kongres sastra atau sastrawan, pekan sastra, pertemuan sastra atau sastrawan, silaturahmi sastra atau sastrawan, dan temu sastra atau sastrawan. Yang paling banyak digunakan adalah temu sastra. Cakupan peserta atau wilayahnya bisa satu daerah tingkat dua (kabupaten atau kota madya), beberapa daerah tingkat dua, satu daerah tingkat satu (provinsi), beberapa daerah tingkat satu, satu pulau, beberapa pulau, nasional atau se-Indonesia, beberapa negara serumpun (Melayu), dan bahkan ada yang bercakupan lebih luas dari itu. Acara-acara itu ada yang digelar hanya sekali, tiap tahun, atau tiap dua tahun. Tak semua kegiatan seperti itu diselenggarakan secara penuh oleh komunitas sastra. Kegiatan dengan skala yang lebih besar dan cakupan yang lebih luas lebih sering digelar oleh lembaga pemerintah, dewan kesenian, atau komunitas sastra yang memiliki jaringan yang luas dan dukungan finansial yang kuat, termasuk memiliki jaringan atau dukungan di lembaga pemerintah, dunia usaha, atau lembaga donor dari luar negeri. Tak heran jika jaringan atau dukungan tersebut menyempit atau melemah, kegiatan yang semula diniatkan dapat diselenggarakan secara rutin terpaksa menjadi beberapa kali saja atau bahkan hanya satu kali.

Melimpahnya Karya Sastra, Melemahnya Mutu?
Menerbitkan buku merupakan “kegemaran” lain komunitas sastra di Indonesia selain membaca puisi dan berdiskusi. Pemetaan yang dilakukan KSI menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek sa¬ja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Angka tersebut belum memasukkan jumlah buku yang diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang baru berdiri pada 1997 di Depok, Jawa Barat. Ketika berulang tahun yang kesepuluh pada 2007, FLP pernah mengklaim telah menerbitkan lebih dari 500 judul buku selama rentang eksistensinya. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual. Kalau cakupan wilayah diperluas hingga seluruh Indonesia dan rentang waktu diperpanjang hingga masa mutakhir, tentu, jumlahnya akan jauh lebih dari angka itu. Melimpahnya karya sastra, sementara ini, memang menjadi sumbangan terbesar komunitas sastra bagi khazanah sastra Indonesia. Sebab, sekali lagi, begitu banyak karya sastra lahir di sana.

Menerbitkan buku sastra memang menjadi obsesi setiap komunitas sastra. Bahkan, bagi komunitas sastra yang punya dana lebih dari cukup, boleh jadi, hal itu merupakan suatu “kegemaran”. Pada sedikit komunitas sastra, obsesi dan “kegemaran” tersebut dibarengi dengan selektivitas yang ketat, sehingga mampu menghadirkan karya sastra yang mutunya terjaga. Pada banyak komunitas sastra yang lain terjadi hal yang sebaliknya. Maklum, banyak sastrawan dalam komunitas sastra menerbitkan buku sastra hanya bermodalkan keberanian dan kenekatan. Mereka tidak menguasai kata. Padahal, kata jugalah yang mereka tekuni setiap hari. Sedikit dari mereka memang berbakat dan atau memiliki intelektualitas yang cukup. Selebihnya adalah tanpa bakat dan intelektualitas.

Sayangnya, pelbagai kegiatan sastra yang dilakukan komunitas-komunitas sastra itu bergerak dalam frekuensi yang berubah-ubah, turun-naik, dengan intensitas perubahan yang berbeda-beda antara satu jenis kegiatan dan kegiatan lain, sejak 1970-an hingga akhir 2000-an. Situasi politik dan ekonomi tentu dapat ditengarai sebagai penyebab utama.
Di sisi lain, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir belum memperoleh kajian yang menyeluruh dan mendalam dari para peneliti, baik peneliti Indonesia maupun luar Indonesia. Will Derks, peneliti dari Belanda, memang pernah mengulas komunitas sastra yang hadir sebagai gerakan pada pertengahan 1990-an, yakni Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), melalui tulisan bertajuk “Sastra Pedalaman: Pusat-Pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia”, tapi RSP hanyalah salah satu riak penting dari dinamika komunitas sastra di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini, peneliti dari Jepang, Shiho Sawai, mencoba mengkaji fenomena komunitas sastra di Indonesia, tapi kajiannya lebih ke sisi pembiayaan (finansial)-nya. Bahkan, belakangan, perhatiannya lebih fokus ke sejumlah buruh migran di Hong Kong yang bergiat menulis karya sastra. Meski begitu, bila upaya-upaya awal yang lebih spesifik itu terus dilanjutkan, kita tetap akan memiliki gambaran yang lebih menyeluruh dan komprehensif tentang dinamika perkembangan komunitas sastra di Indonesia.

(Riau Pos, 31 Oktober dan 7 November 2010)

ESAI: Belajar dari Komunitas Sastra Dunia

24 Oktober 2010

Iwan Gunadi

Jangan pernah memastikan bahwa kehadiran komunitas sastra di Indonesia yang marak sejak 1980-an merupakan suatu fenomena yang khas di dunia. Di belahan dunia lain, hal yang sama juga terjadi.

Meski aktivitas kreatif dalam kesenian, termasuk kesusastraan, umumnya masih dilakukan secara individual alias soliter, sebagai makhluk sosial, pelakunya, yakni seniman atau pekerja seni, termasuk sastrawan atau pekerja sastra; tetap butuh bersosialisasi dalam kelompok yang memiliki kesamaan cita-cita.

Malah, di Prancis, pada abad ke-16, sekelompok penyair dari Abad Pertengahan tekah bersekutu di bawah nama The Pluiade. Sebelumnya, pada 1323, masih di Prancis, tepatnya di Toulouse, nama yang sama pernah digunakan oleh sebuah kelompok yang beranggota 14 penyair (tujuh lelaki dan tujuh perempuan). Artinya, ketika komunitas sastra atau budaya di Indonesia masih anonim, komunitas sastra di Prancis mulai mengarah ke bentuk organisasi. Komunitas sastra yang seperti itu di Indonesia baru muncul pada akhir abad ke-19, yakni Rusdiyah Klab di Sumatera dan Paheman Radyapoestaka di Jawa.

Di pelbagai belahan dunia, sejarah komunitas sastra juga tidak hadir sebagai kerumunan yang asosial. Ia selalu terikat dengan lingkungannya, sekurangnya lingkungan kesusastraannya. Tengok, misalnya, Tachtigers di Belanda, Harlem Renaissance dan The Nashville di Amerika Serikat, Bloomsbury di Inggris, dan tentu Gruppe 47 di Jerman.

Sekitar akhir abad ke-19, di Belanda, Tachtigers (Angkatan 1880) muncul sebagai kelompok penulis yang kemudian turut memengaruhi satu paruh dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia. Angkatan tersebut merupakan satu kumpulan penyair dan penulis muda yang memperbarui kesusastraan Belanda secara radikal pada 1880-an. Para penyokongnya, antara lain, Albert Verwey, Frank der Goes, Frans Eren, Frederik van Eeden, Herman Gorter, Jaques Perk, L. van Deysell, Willem Kloos, dan Wouter Paap.

Sebelum kemunculannya, kesusastraan Belanda pada pertengahan abad ke-19 memang perlahan-lahan mundur menjadi semacam kesusastraan “khotbah” lantaran inspirasi puitisnya diganti dengan pengajaran moral dan berkembang terus dengan sendirinya tanpa hubungan apa pun dengan kesusastraan Eropa pada masa itu. Tak lama setelah 1880, sekelompok orang muda mulai memberontak dan pada 1885 mereka bersatu dalam Majalah De Nieuwe Gids (Pandu Baru).

Dari namanya, kelompok anak muda tersebut jelas ingin bereaksi terhadap majalah terpenting pada masa itu, yaitu De Gids (Pandu), yang dibentuk pada 1837 dan mewakili pandangan golongan tradisional. Umur kelompok tersebut memang tak lama, tapi kegiatan gerakan tersebut yang tampak amat tiba-tiba dan revolusioner menjadikannya sangat menarik perhatian.

Abad berikutnya, tepatnya pada 1920-an, di Amerika Serikat, di sebuah distrik di New York yang disebut Harlem, muncul kebangkitan sastra yang disebut Harlem Renaissance ketika sejumlah sastrawan kulit hitam, seperti James Baldwin, Ralph Ellison, dan Zora Neale Hurston, memproduksi karya sastra yang diakui para kritisi sastra Amerika pada zamannya. Nama kelompok tersebut mengarah pada upaya kebangkitan kelompok sastrawan kulit hitam sekaligus upaya mengikis diskriminasi berdasarkan warna kulit.

Di Vanderbilt, masih di sekitar dasawarsa yang sama, ada kelompok The Nashville. Komunitas sastra ini merupakan kelompok “pembangkang” dalam pengertian yang lebih baik. Mereka mencoba mencari untuk menemukan kembali nilai-nilai tertentu dari masa lalu, seperti nilai-nilai dari tradisi budaya Selatan dan sudut pandang yang religius. Hasilnya, karya-karya sastra kelompok ini telah memberi pengaruh yang luas terhadap kritik sastra pada 1970-an di Amerika Serikat. Komunitas sastra yang dipimpin penyair John Crowe Ransom tersebut pernah mencatat penyair dan esais Allen Tate sebagai anggota kehormatannya.

Di Paris, Prancis, pada dasawarsa yang sama, 1920-an itu, tercatatlah “Generasi yang Hilang” atau The Lost Generation. Nama tersebut bermula dari selorohan Gertrude Stein—di Indonesia, dia dapat disejajarkan dengan H.B. Jassin—ketika suatu hari mendapati sekelompok anak muda kesulitan memperbaiki sebuah mobil yang mogok, “Oh, you are the lost generation.” Anak-anak muda tersebut merupakan bagian dari anak-anak muda yang makmur setelah meraup banyak uang akibat Perang Dunia I, tapi spiritualitas mereka kosong. Karena karisma Stein, banyak sastrawan muda asing, terutama dari Amerika Serikat—termasuk Ernest Hemingway, yang menetap di Paris sebagai koresponden Toronto Star untuk meliput perang Yunani-Turki—sering berkumpul bersamanya di sebuah kafe di Paris. Sejumlah sastrawan Amerika Serikat bernostalgia tentang keterlibatan mereka di Perang Dunia I di Eropa. Dari sanalah, kita kemudian mengenal komunitas The Lost Generation. Tokoh sentralnya memang Stein.

Di Jerman, pada 1947, muncul Gruppe 47. Kehadiran Gruppe 47 dilatari imbas Perang Dunia II yang memorak-porandakan Jerman. Sebanyak 10-16 juta serdadu mati bersama warga sipil. Enam juta orang Yahudi dibantai Nazi. Sebelas juta orang Jerman dibui karena kalah perang, dua juta cacat seumur hidup, dan sepuluh juta orang Jerman harus pergi meninggalkan tanah air mereka.

Pada masa sesudahnya, buku menjadi barang mewah, sangat langka, dan dicari banyak orang. Harganya di pasar gelap setara dengan kebutuhan hidup sekeluarga selama seminggu. Padahal, sastra sudah seperti menjadi kebutuhan pokok. Sayangnya, karya-karya sastra yang dihasilkan penulis muda tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan zamannya.

Padahal, masyarakat membutuhkan sebuah bentuk sastra baru. Sastra yang menampilkan pergulatan hidup untuk mencari jawaban atas setiap kesalahan yang telah dilakukan. Orang butuh “bahasa baru” untuk menyusun kenyataan secara lugas, sebuah bahasa yang jelas, tegas, dan tepat. Kondisi seperti itulah yang memicu kelahiran komunitas sastra yang kemudian melegenda di Jerman ini. Günter Grass, Alfred Andersch, dan Heinrich Boll pernah menjadi anggota Gruppe 47.

Di luar komunitas-komunitas itu, tentu masih banyak komunitas lain yang dapat disebut sebagai contoh. Dalam sejarah kesusastraan Amerika Serikat, misalnya, kita mengenal komunitas Brook Farm pada pertengahan abad ke-19. Di desa utopia yang dipimpin George Ripley tersebut pernah bergabung sastrawan Nathaniel Hawthorne selama beberapa bulan pada 1841. Pada akhir abad ke-19, Greenwich Village, sebuah distrik di New York, Amerika Serikat, terkenal sebagai kantong budaya yang didukung berbagai majalah sastra bertiras kecil. Di sana bermukim para sastrawan terkenal Negeri Paman Sam tersebut, mulai dari Edgar Allan Poe sampai dengan Edward Estlin Cummings (e.e. cummings). Di Vanderbilt, pada awal abad ke-20, John Crowe Ransom dan Allen Tate juga tergabung dalam kelompok para penyair yang dikenal dengan sebutan Fugitives bersama Donald Davidson, Robert Penn Warren, dan para penyair lain.

Masih di sekitar awal abad ke-20 tersebut, komunitas sastra juga sudah dikenal di Argentina, Amerika Selatan. Pada 1916, penyair terkenal Argentina, Alfonsina Storni, disebut-sebut mulai tampil di depan umum untuk membacakan puisi-puisinya dan bergabung dalam komunitas sastra di Argentina. Bahkan, penyair kelahiran Swiss, 29 Mei 1892, yang meninggal dunia pada 1938 itu menjadi salah seorang pendiri Asosiasi Penulis Argentina.

Di Inggris, pada 1920-an, sejumlah sastrawan, seperti T.S. Elliot, Joseph Conrad, dan beberapa sastrawan dari Amerika Serikat, seperti Herold Frederick dan Stephen Crane, sering berkumpul. Bahkan, mereka mengarang drama dan membacakannya bersama serta menyusun sejumlah rencana kreatif, walaupun tidak jarang hanya tinggal rencana. Tak jauh dari dasawarsa tersebut, masih di Inggris, tepatnya di London, novelis Virginia Woolf menjadi bagian dari grup Bloomsbury. Bahkan, di kota yang sama, pada 1909, The Poetry Society sudah berdiri.

Tentu tak lengkap menderetkan contoh komunitas sastra di dunia tanpa menyebut organisasi Poets, Playwrights, Editors, Essayists, and Novelist (PEN). Sebelum ada Gruppe 47, PEN sudah hadir, yakni sekitar 1930-an. Banyak sastrawan terkenal di dunia, termasuk Gunter Grass, menjadi anggotanya. PEN kemudian memang menjadi organisasi yang mengglobal dengan pusat di London, Inggris. Cabang PEN hadir di puluhan negara di berbagai benua di dunia ini, termasuk di Indonesia.

Kalau beberapa dasawarsa terakhir, tak sedikit kampus di Indonesia ditengarai sebagai basis pertumbuhan komunitas sastra, hal yang sama sudah terjadi di Amerika Serikat sejak beberapa abad yang lalu. Misalnya, di Columbia University, ada The Philolexian Society, salah satu komunitas sastra kampus yang tertua di sana yang didirikan pada 1802. Contoh lain adalah The Philomathean Society di University of Pennsylvania yang didirikan pada 1813.

Ketika raja-raja di Nusantara pada masa silam memiliki sejumlah pujangga untuk mengagungkan masing-masing raja, di Inggris, King George IV telah mendirikan The Royal Society of Literature pada 1820. Organisasi sastra tersebut didirikan untuk memberikan penghargaan atau beasiswa sekaligus membangkitkan bakat-bakat sastra tak hanya di kalangan masyarakat Inggris, tapi kemudian juga di kalangan masyarakat di luar Inggris. Karena itu, selain Yeats, Kipling, Thomas Hardy, dan George Bernard Shaw, kemudian Chinua Achebe dan V.S. Naipaul, misalnya, juga menerima beasiswa dari organisasi sastra itu.

Sebagaimana di Indonesia kemudian, pelbagai komunitas sastra di sejumlah negara tersebut hadir tanpa atau dengan ikatan, baik sebagai paguyuban informal maupun organisasi formal. Ada yang bermotif melawan kemapanan, ada yang hanya untuk bernostalgia. Ada yang punya tokoh sentral, ada yang tidak. Ada yang bertahan lama lebih dari tiga perempat abad dan lebih banyak yang hidup hanya untuk rentang masa yang pendek. Di Indonesia, belum ada yang aktif terus-menerus hingga seperempat abad pun. Yang lebih banyak adalah yang aktif hanya untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa pekan.

(Lampung Post, Minggu, 24 Oktober 2010)

ESAI: Menyerah pada Detail Tokoh

3 Agustus 2010

Iwan Gunadi

“MENGARANG itu gampang,” tulis Arswendo Atmowiloto pada bukunya dengan judul yang sama. Setuju. Tetapi, lain ceritanya kalau mengarang dengan keterukuran artistika dan estetik yang tinggi. Dalam kondisi seperti itu, mengarang bukanlah pekerjaan mudah.

Misalnya, penggarapan penokohan. Pekerja sastra selalu terobsesi untuk
melahirkan tokoh-tokoh dengan karakter yang tidak hitam-putih, tetapi abu-abu atau bahkan beragam warna. Untuk sampai ke sana, ada pekerja sastra yang begitu bangga mengaku bahwa dirinya hanya menemukan tokoh, tetapi tokoh itu yang kemudian membentuk karakternya sendiri. Ada pula yang menyebut bahwa si tokohlah yang menemukannya dan si pekerja sastra hanya menyodorkan wahana kepada si tokoh untuk membangun karakternya.

Namun, persoalannya, dengan kedua cara seperti itu, betulkah tokoh-tokoh yang hadir itu tidak benar-benar stereotif? Secara psikologis, boleh jadi ya. Tetapi, belum tentu secara pragmatik atau linguis.

Artinya, informasi yang dikandung kalimat-kalimat naratif dan kalimat-kalimat dialog, atau monolog memang menandakan bahwa masing-masing tokoh berkarakter berwarna dan berbeda. Tetapi, struktur kalimat, struktur klausa, struktur frasa, struktur kata, dan pilihan kata (diksi) masing-masing tokoh itu justru seragam.

Makin banyak tokoh idealnya kian beragam bangunan kebahasaan yang mesti disusun pengarang atau penyair. Ini tentu menuntut daya ingat, konsentrasi, dan kontrol yang makin tinggi dari pengarang atau penyairnya. Apalagi, bila satu karya sastra menggunakan narator atau pelirik yang berubah-ubah. Bila tidak, boleh jadi, karakter tokoh-tokoh berbeda, tetapi bangunan kebahasaannya tumpang tindih alias seragam.

Memang, struktur kalimat yang serupa dari tokoh-tokoh yang berbeda tak selalu berarti bahwa kalimat-kalimat mereka sama persis. Bisa saja, struktur kalimatnya sama, tetapi struktur frasa, struktur kata, dan atau pilihan katanya berbeda.

Misalnya, tokoh A dan tokoh B memiliki struktur kalimat yang sama, tetapi
struktur kata yang digunakan masih-masing tokoh dalam kalimatnya berbeda. Contoh konkretnya begini. Tokoh A dan tokoh B sama-sama dominan memulai kalimat dengan subjek. Tetapi, tokoh A memulainya dengan menggunakan kata saya, sedangkan tokoh B memanfaatkan kata saya, misalnya. Kalau yang berbeda pilihan katanya, tokoh A
senang mengawali kalimat dengan kata aku, sedangkan tokoh B demen mendebuti kata gue.

Pembedaan-pembedaan semacam itu tentu punya konsekuensi-konsekuensi sendiri. Atau, kita balik, pembedaan-pembedaan bangunan bahasa antartokoh itu merupakan konsekuensi dari pelbagai pilihan karakter yang telah diambil pengarang atau penyair sebelum mulai mengarang atau menyair. Perbedaan latar keluarga, geografis, adat istiadat, budaya, ideologi, umur, jenis kelamin, dan lain-lain memungkinkan lahirnya perbedaan bangunan bahasa.

Misalnya, tokoh A dan tokoh B berkarakter berbeda, tetapi masing-masing memiliki struktur kalimat dengan pola dominan subjek (S) + predikat (S). Struktur kalimat yang seragam seperti itu antartokoh yang berbeda memang tetap bermakna ganda. Dalam karya-karya sastra realis, keseragaman seperti itu bukanlah kelumrahan. Ia suatu keanehan alias anomali. Ia pertanda penulisnya tidak memperhatikan detail struktur kalimat.

Setiap karya sastra memang memiliki logika tersendiri. Tetapi, logika karya
sastra realis, saya kira, masih mengacu pada logika realis, logika yang hidup
dalam kejadian sehari-hari yang real.

Dalam logika realis, keberbedaan karakter seseorang direpresentasikan melalui struktur kalimat, struktur klausa, struktur frase, struktur kata, dan pilihan kata (diksi), kecuali tentu orang bisu. Struktur bahasa dan diksi satu orang dengan orang lain biasanya berbeda. Struktur bahasa dan diksi anak dan bapaknya saja bisa berbeda, walau perbedaannya bisa tak setajam dengan orang yang tak berhubungan darah atau tak hidup serumah.

Kalaupun dua orang yang tak berhubungan darah atau tak serumah memiliki struktur bahasa atau diksi serupa, keserupaan tersebut mestinya menyimpan alasan tertentu. Misalnya, salah seorang di antara mereka sedikit banyak mengidap kelainan jiwa atau skizoprenia.

Karya-karya sastra nonrealis boleh jadi menjauhi kecenderungan tersebut. Maklum, karya-karya sastra tersebut memang menghindar dari logika realis. Tetapi, bila terjadi keseragaman struktur bahasa dan diksi di antara tokoh-tokohnya, ini pun mestinya bukan produk kekurangtelitian menggarap detail penokohan. Keseragaman tersebut idealnya dipicu keinginan menciptakan efek tertentu. Misalnya, ingin mendedahkan efek kekacauan tokoh atau tokoh-tokoh tidak ditempatkan sebagai makhluk individu, tetapi gerombolan atau massa.

Tuntutan perbedaan makin bertambah bila karya-karya sastra itu, baik yang realis maupun yang nonrealis, tak memanfaatkan narator orang pertama atau pelirik nonaku. Kalau itu yang terjadi, struktur bahasa dan diksi narasi atau lirik mestinya berbeda pula.

Perbedaan tersebut sekurangnya meliputi dua hal besar. Pertama, perbedaan antarbangunan bahasa setiap tokoh. Kedua, perbedaan bangunan bahasa setiap tokoh dengan bangunan bahasa narasi atau lirik.

Sayangnya, idealitas yang ada di kepala saya itu sangat sulit menemukan
contohnya dalam khazanah sastra Indonesia. Sejak generasi Muhammad Yamin dan Marah Rusli hingga generasi Zeffry J Alkatiri dan Ayu Utami, heterogenitas seperti itu merupakan barang langka. Saman karya Ayu Utami, boleh jadi, merupakan bagian dari yang langka tersebut.

Terlalu herois kalau seorang pengarang mengaku tak mampu mendikte tokoh-tokohnya sesuai rencananya. Dia membiarkan dirinya terbawa oleh masing-masing tokoh yang telah hidup dengan sendirinya. Sampai-sampai, ada yang mengatakan, “Saya tak bisa menghentikan cerita yang telah saya rancang itu tanpa mengikuti keinginan cerita itu sendiri.” Luar biasa.

Penulis adalah pemerhati sastra di Tangerang

ESAI: “Ma Taf’al Al’an Ya Muhammadiyah” (2)

2 Agustus 2010

Daoed Joesoef

Di seluruh dunia, baik di Timur dan di Barat, agama sebagai keyakinan, Islam tidak terkecuali, mengadakan redefinisi sendiri, lambat tapi pasti, sebagai “keyakinan individual”, sebagai “opini religius”, di antara “possible opinions” lain, di dalam ruang pluralis dari konfrontasi yang diketengahkan oleh perdebatan publik dan pemilihan politik.

Namun, jangan dikira akan ada substitusi instan yang satu terhadap lainnya dari satu gaya keyakinan dan sejenis pemikiran diskursif. Agama tidak akan terabaikan begitu saja. Ia hanya kehilangan fungsi politiknya, keagungan otoritas legitimasinya. Ia menghadapi persaingan dari pihak pemikiran diskursif yang sangat berlawanan dengan premisnya selama ini, di dalam suatu dunia sosial yang tidak lagi ia rangkul, ia organisir, ia standardisasi.

Sumber Modernisasi
Dalam kondisi seperti itu, Islam justru menawarkan ajarannya yang sangat relevan dan menentukan kesuksesan penerapan “ideologi” dari keyakinan politik yang melandasi gerakan pembaruan Muhammadiyah, jikalau mau diteruskan.

Para pemimpin, sesepuh, dan terutama pemuda ormas Islam ini perlu merenungi kembali bunyi ayat kelima dari surat Al-Alaq yang menyerasikan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril di Gua Hira, pada malam 17 bulan Ramadhan di tahun 610 Masehi.

Ayat yang sering dilupakan pesannya ini berbunyi, “Dia (Tuhan) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Pada saat wahyu ini turun, makhluk manusia sudah hidup di dunia selama enam abad. Bila dihitung masa sebelum tahun Masehi, makhluk yang satu ini sudah menetap dan menjelajah planet bumi selama hampir 3.600 tahun. Berkat pengetahuan manusia sudah mengumpulkan relatif banyak pengetahuan yang selama ini semakin “mempermudah” kehidupannya sehari-hari. Lalu pengetahuan apa lagi yang akan diajarkan oleh Tuhan kepadanya yang dia tidak ketahui?

Ternyata, memang ada dan bukan sembarang pengetahuan, sebab lebih persis lagi, bukan pengetahuan sesudah dialami, tetapi mendahului pengalaman. Ia berupa pengetahuan yang lahir dari kegiatan berpikir secara teratur, ordered thinking, yang dilakukan dengan sengaja dan dengan kesadaran naluriah, yang kini disebut pengetahuan ilmiah. Adapun pengetahuan yang sudah ada sebelum wahyu Ilahiah yang pertama itu diturunkan, yang mendominasi kehidupan selama 3.600 tahun keberadaannya di bumi, kini lazim disebut sebagai pengetahuan rakyat (folk knowledge), yaitu yang dibentuk dari pengalaman sehari-hari manusia dan dari generalisasi pengalaman tersebut.

Perbedaan fundamental antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan rakyat adalah bahwa pengetahuan rakyat didapat secara esensial dari kesimpulan-kesimpulan (inferences) empiris dan observasi tidak sengaja, sedangkan pengetahuan ilmiah diperoleh dari kesimpulan yang wajar dari model-model teoritis menurut logika naluriah dan observasi yang diorganisir dengan teliti di bawah panduan invensi yang memperluas kekuatan indra.

Interpretasi saya tentang apa yang persis dimaksudkan dengan narasi Tuhan mengajarkan “apa yang tidak diketahui oleh manusia” (ketika itu), didasarkan atas penemuan kata kerja tertentu yang bertebaran dalam keseluruhan Al Quran, yang langsung terkait dengan kegiatan khas keilmuan. Kata-kata itu adalah “dabbara” (merenungkan) disebutkan dalam 10 ayat, “fakiha” (mengerti) dalam 20 ayat, “nazara” (melihat secara abstrak) dalam 30 ayat, “tafakur” (berpikir) dalam 16 ayat. Kemudian ada kata-kata yang berasal dari kata benda “aqala” (nalar) yang dijumpai pada lebih dari 30 ayat. Semua kata tersebut secara esensial mengandung perintah Tuhan agar manusia menggunakan nalar dan daya pikirnya.

Akhirnya ada ayat Taha (20:114) yang betul-betul eksplisit menyatakan keagungan ilmu pengetahuan. Ia berbunyi: “Waqul rabbi zidni ilman” – katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, tambahlah ilmu pengetahuanku. “Kalau ilmu pengetahuan itu tidak bernilai mustahil Tuhan memerintahkan Rasul-Nya untuk meminta tambahan itu. Dan di dalam keseluruhan Al-Quran ternyata satu-satunya nilai yang disebut supaya diminta lebih banyak lagi kepada-Nya adalah ilmu pengetahuan.

Dengan dilaksanakannya pesan Ilahiah supaya mengembangkan ilmu pengetahuan, sesudah abad pertama hijrah terjadilah perkembangan pesat dalam budaya keilmuan muslim. Kota-kota Islam berkembang menjadi “intellectual workshop” yang mampu menggerakkan pertumbuhan ilmu pengetahuan yang pesat. Tanpa pertumbuhan ini sulit dibayangkan bahwa dunia modern dapat tumbuh dan berkembang seperti yang kita alami sekarang.

Dalam karyanya yang berjudul “Introduction to the History of Science”, George Sarton membagi uraiannya mengenai kemajuan keilmuan dalam zaman yang masing-masing berjangka waktu kira-kira setengah abad. Setiap zaman ditandai dengan seorang tokoh utama. Periode tahun 450-400 sebelum Masehi (SM), misalnya, disebut sebagai zaman Plato. Lalu disusul oleh tiga periode setengah abad lainnya dari Aristoteles, Euclid dan Archimedes. Dari tahun 600 sampai 700 tahun Masehi (TM) merupakan zaman China yang ditandai oleh Hsiian Tsang dan I Ching. Selanjutnya dari tahun 750 sampai 1100 TM selama 350 tahun terus menerus adalah zaman yang sambung menyambung tanpa putus dari tokoh-tokoh ilmuwan yang berbudaya Islam, yaitu: Jabir, Khwarizmi, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, Omar Khayam, Ibnu Sina dan Ibnu al-Haytham.

Tidak semua tokoh tersebut adalah orang Arab. Ada di antaranya yang berbangsa Turki, Afghanistan dan Persia dan masing-masing merupakan ahli kimia, aljabar, klinik, ilmu bumi, matematika, fisika, dan astronomi. Dua tokoh yang disebut terakhir itu tidak hanya memberikan sumbangan pikiran teoretis yang berharga di bidang fisika, juga di bidang-bidang lain dengan bobot yang sama seperti: kedokteran, matematika, geologi, filosofi dan astronomi.

Hanya sesudah tahun 1100 M uraian analitis dan historis dari George Sarton menampilkan nama-nama barat yang pertama, yaitu Gerard of Cremona dan Roger Barcon. Namun zaman Eropa ini pun masih ditandai juga selama 250 tahun oleh ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Ibnu Rush, Nasir ad-Din at-Tusi dan Ibnu Nafis, yaitu tokoh yang mendahului teori peredaran darah dari Harvey. Sedangkan Nasir ad-Din at-Tusi memimpin observatorium Maragha dengan staf sebanyak 20 orang astronom yang berasal dari dunia Islam ketika itu. Mengingat mutu sarjana dan peralatan yang ada, Maragha abad-XII ini dapat dikatakan merupakan observatorium pertama yang betul-betul sepadan dengan sebutan dan dimensi kerjanya.

Berbeda sekali dengan para pemikir di zaman Yunani Purba yang sama sekali tidak tertarik pada ilmu terapan, kecuali Archimedes, para pemikir dan ilmuwan muslim di zaman kejayaan Islam tersebut mengembangkan pula ilmu pengetahuan terapan, yang dimulai dengan ilmu kimia. Usaha pengembangan ini kiranya didorong oleh kehendak mengamalkan pengetahuan ilmiah murni sesuai dengan sabda Rasulullah: “Belum dianggap seseorang itu berilmu pengetahuan sampai dia mengamalkan ilmu pengetahuan itu”.

Maka kalau Muhammadiyah bertekad meneruskan usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk memajukan masyarakat melalui pembaruan berpikir dalam beragama, yang memang sampai sekarang belum tuntas, ormas Islam ini perlu tetap bertekad melangkah dari masyarakat heteronom ke masyarakat otonom, dengan berpegang teguh pada keyakinan politik di samping keyakinan religius.

Berarti tetap membentuk “ideologi” yang, demi memantapkan efektivitas pencerahan pikiran dan kegunaan perbuatannya, pasti memerlukan bukan simple folk knowledge tetapi scientific knowledge, seperti yang disyaratkan dalam wahyu pertama Ilahiah di abad VII.

Menurut natur cita-cita awalnya Muhammadiyah sebenarnya lebih cenderung menjadi unsur komunitas ilmiah ketimbang bagian komunitas politik. Ia akan menjadi lebih terhormat dan bermartabat bila keseluruhan aneka kiprahnya, semua jenis program kerjanya, ditujukan ke bidang sosial dan kultural. Di bidang sosial pada pokoknya aktif meningkatkan kesejahteraan warga (citizens) demi mengukuhkan “kemauan hidup bersama” sebagai dasar utama pembentukan bangsa. Di bidang kultural pada pokoknya aktif membuat kota-kota di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai lokasi pemukiman, bekerja dan menyembah Tuhan, tetapi juga tumbuh menjadi masyarakat yang bergairah belajar (learning society), toleran, berbudaya dan beradab. Agama Islam, after all, adalah “a religion of reason” bukan “a religion of fear”.

So…. ma taf’al al’an ya Muhammadiyah – apa yang akan Anda lakukan sekarang, wahai Muhammadiyah?!

Penulis adalah alumnus Universite Pluridisicplinaires Pantehon, Sorbonne.

Harian Suara Pembaruan, 2 Juli 2010.

ESAI: GM dan Pengembalian Bakrie Award

7 Juli 2010

Wijaya Herlambang

SIAPA tak kenal Goenawan Mohamad (GM)? Dia selalu berusaha jadi firgur sederhana, meski sebenarnya sangat berpengaruh. Dia selebritas kebudayaan, pemimpin budaya ”pembebasan”, terutama bagi penggemar ideologi liberalisme.

Pada 22 Juni lalu, penanda tangan Manifes Kebudayaan tahun 1963 itu mengembalikan Bakrie Award yang dia terima tahun 2004 ke penyelenggara pemberian penghargaan, yakni Freedom Institute. Hal itu mengejutkan banyak pihak, terutama yang selama ini mengamati aktivitas kebudayaan nasional. Pertama, karena GM sebelumnya dikenal dekat dengan Freedom Institute yang didirikan keluarga Aburizal Bakrie. Kedua, sebelum kasus Bank Century meletus, yang menyeret nama Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, hubungan GM dan Bakrie baik-baik saja.

GM menyatakan mengembalikan hadiah itu karena tak setuju cara Bakrie akhir-akhir ini dalam memperkuat posisi politik. Lebih spesifik, GM menyatakan mengetahui Bakrie memotori serangan terhadap Boediono dan Sri Mulyani. Meski, menurut pendapat dia, kedua pejabat itu ”tak bersalah” dalam kasus Bank Century.

Terlepas dari benar atau tidak, alasan itu masuk akal. Sebab, baik langsung maupun tidak, Bakrie punya andil besar dalam pendongkelan Sri Mulyani dari kursi menteri. Melihat sikap politik GM yang mendukung pencalonan Boediono sebagai wakil presiden pada Pemilu 2009, wajar bila ada yang menyimpulkan pengembalian Bakrie Award merupakan bagian dari usaha GM mempertahankan dukungan pada Boediono.

Jadi dia merasa wajib membersihkan nama Boediono dan Sri Mulyani, dengan meyakinkan publik bahwa kedua pejabat negara itu tak bersalah. Namun ada pula yang berpendapat, pengembalian hadiah itu berkait dengan pandangan ideologis GM. Rekam jejak GM dalam membela ”prinsip kemanusiaan” atas nama ”kebebasan berekspresi” sudah dikenal sejak tahun 1960-an, meski berakibat fatal bagi penulis kiri yang tergabung dalam Lekra, lembaga kebudayaan yang berafiliasi ke PKI. Akibat kampanye ideologis kelompok penanda tangan Manifes Kebudayaan, tradisi ”kiri” — terutama dalam perkembangan sastra selama masa Orde Baru — tersingkir secara dramatis.

Pintu Gerbang
Kemampuan GM menjalin kontak dengan lembaga dan tokoh berpengaruh di dalam dan luar negeri juga tak dapat diragukan. Hubungan yang dia bangun dengan diplomat kebudayaan, seperti Ivan Kats dari Congress for Cultural Freedom tahun 1960-an atau John McGlynn dari Yayasan Lontar, menjadi salah satu pintu gerbang penting bagi lalu lintas kebudayaan transnasional di Indonesia. Kedekatan GM dengan tokoh-tokoh berpengaruh, seperti mantan perwakilan Ford untuk Indonesia, Philip Yampolsky dan Mary Zurbuchen, mantan Direktur Bank Dunia, Paul Wolfowitz, dan mantan Direktur USAID untuk Indonesia, Mark Johnson, juga merupakan petunjuk penting: dia memiliki jaringan luas dengan perwakilan lembaga donor dari Amerika Serikat (AS).

Dari situlah terbangun kontak antara GM dan Ford Foundation, Rockefeller Foundation, Asia Foundation, dan USAID. Atas dasar itu, tak mengejutkan bila banyak tuduhan dilemparkan bahwa GM merupakan agen kebudayaan (neo)-liberalisme, meski tuduhan itu masih harus didukung bukti lebih meyakinkan.

Pertanyaannya, mengapa GM ngotot membela Boediono dan terutama Sri Mulyani yang terjungkal gara-gara kampanye Bakrie di DPR untuk mengusut kasus Bank Century? Mengapa kasus Boediono-Sri Mulyani dalam skandal Bank Century bisa mengubah aliansi GM dan Bakrie menjadi seteru?

Perlu diingat, kedekatan GM dan kelompok Bakrie bermula dari kolaborasi GM dan proteges-nya seperti Nirwan Dewanto dan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Freedom Institute awal tahun 2000-an. Sejak GM mendirikan JIL tahun 2001, sebagai bagian dari Komunitas Utan Kayu yang berpengaruh, hingga Komunitas Salihara yang dibangun tahun 2008, keluarga Bakrie melalui Freedom Institute menjadi salah satu penyandang dana terbesar, selain AS melalui the Asia Foundation dan USAID serta lembaga donor asing lain.

Apalagi tahun 2005 GM bekerja sama dengan Freedom Institute untuk mendukung kebijakan pemerintah menghapus subsidi bahan bakar minyak dengan mengumpulkan tanda tangan dari para tokoh terkenal, termasuk Frans Magnis-Suseno yang pernah diunggulkan sebagai penerima Bakrie Award. Itu menunjukkan, pada suatu masa pandangan GM seiring dengan kepentingan politik Bakrie yang menginginkan privatisasi (pasar bebas) sumber energi. Bahkan GM mempertahankan Bakrie Award ketika Aburizal Bakrie jadi pusat kritik sejak tahun 2006 akibat kasus lumpur Lapindo.

Washington Consensus
Sementara itu, keberpihakan GM pada Boediono dan Sri Mulyani juga dapat dilihat berdasar peran kedua pejabat itu, terutama Sri Mulyani, yang kerap dituduh sebagai pendukung kebijakan pasar bebas (market fundamentalism) yang diperkenalkan pakar ekonomi dari Institute for International Economics, John Williamson, melalui istilah Washington Consensus.

Washington Consensus merupakan doktrin untuk menggunakan perangkat ekonomi, seperti stabilitas ekonomi makro, pasar modal, perdagangan bebas, dan privatisasi perusahaan negara, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Tentu cara itu menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari pakar linguistik dan politik seperti Noam Chomsky dan sejarawan sekaligus novelis dari jurnal New Left Review, Tariq Ali.

Mereka berpendapat, doktrin pasar bebas yang diterapkan melalui Washington Consensus tak lain adalah upaya negara maju membuka pasar buruh dari negara berkembang untuk dieskploitasi perusahaan raksasa dari negara maju, terutama AS. Dalam konteks kebijakan pasar bebas itulah, pandangan GM berkesesuaian dengan perspektif Boediono dan Sri Mulyani, yang menurut sebagian orang pro-Washington Consensus.

GM tentu sadar keputusan mengembalikan Bakrie Award tak hanya memicu kontroversi di masyarakat, tetapi juga memicu permusuhan dengan Bakrie. Konsekuensi dari alasan GM mengembalikan hadiah itu bisa jadi merugikan reputasi dan kepentingan politiknya. Pertama, pengembalian penghargaan itu dengan alasan membela Boediono dan Sri Mulyani memunculkan penilaian: keputusan GM lebih dipengaruhi kepentingan politik ketimbang perspektif moral dalam membela korban lumpur Lapindo yang lebih substansial. Kedua, ada pendapat lebih elok GM mengembalikan hadiah itu ketika malapetaka Lapindo meletus tahun 2006. Ketiga, pengembalian penghargaan itu mengakibatkan hubungan politik yang dia bina dengan Bakrie selama ini hancur, sekaligus secara tak langsung GM memopulerkan penghargaan itu. Pendek kata, jika GM hendak menunjukkan sikap sebagai pejuang ”pembebasan”, alasan pengembalian Barkrie Awad itu tidak tepat dan terlambat. Namun, ternyata, kepentingan politik lebih berharga ketimbang yang lain. (51)

Wijaya Herlambang, kandidat doktor pada The School of Languages and Comparative Cultural Studies, The University of Queensland, Australia.

Harian Suara Merdeka, 30 Juni 2010.

ESAI: Bakrie Award, Filantrofi, dan Greenwash

7 Juli 2010

Agam Fatchurrochman

Goenawan Mohamad mengembalikan piala dan penghargaan Bakrie Award dalam bidang Kesusatraan yang diberikan pada 2004. Ini didasari kekecewaan dia atas perilaku Aburizal Bakrie dan perusahaannya dalam kasus lingkungan lumpur Lapindo, trik politik dalam penyerangan pribadi Boediono dan Sri Mulyani dalam kasus Century, serta dugaan penggelapan pajak yang melibatkan Gayus.

Dalam kepustakaan CSR (corporate social responsibility), reaksi GM tersebut merupakan kemuakan atas fenomena greenwash, yaitu perusahaan yang “mencuci” kinerja buruk lingkungannya dengan gencar melakukan kegiatan filantrofi atau CSR sebatas kegiatan kehumasan (Crane dan Matten, 2004). Fenomena greenwash ini patut diwaspadai agar CSR tidak jatuh semata-mata program menambal citra suram perusahaan.

Pada intinya, CSR mempunyai dimensi kewajiban dan kesukarelaan. Salah satu kerangka CSR populer adalah piramid empat lapis CSR (Carroll dan Buchholz, 2000).

Lapis paling bawah adalah tanggung jawab ekonomi, di mana perusahaan harus mendapatkan laba untuk memenuhi kewajibannya kepada karyawan, berbisnis secara sehat dengan mitra bisnis, berkontribusi kepada negara melalui pajak, serta memberikan imbal hasil yang memadai bagi pemegang saham. Lapis kedua adalah kepatuhan terhadap hukum yang berlaku. Ini tidak dapat ditawar-tawar, termasuk aturan lingkungan dan pajak.

Lapis ketiga adalah tanggung jawab etis, yaitu etika yang bersumber dari norma masyarakat, mulai agama, budaya, hingga pedoman good corporate governance. Memang bukan hukum positif, tetapi berbisnis secara etis akan meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan. Lapisan teratas adalah filantrofi, yaitu diskresionari perusahaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat secara luas. Termasuk dalam hal ini adalah maraknya pendirian yayasan atau lembaga yang menampung dana dari orang kaya dunia, seperti Bill & Melinda Gates Foundation, Sampoerna Foundation, atau Freedom Institute, yang sebagian disokong keluarga Bakrie.

Esensi greenwash adalah ketika perusahaan mendapatkan laba besar dengan melanggar hukum, mengabaikan etika, tapi rajin menyumbang ke sana-kemari untuk mempertahankan citra sebagai perusahaan patuh hukum dan paham etika. CSR hanya dipahami dan dilaksanakan sebatas filantrofi, satu lapis dari seharusnya empat lapis.

Perbedaan
Greenwash bisa dibedakan dengan CSR pada beberapa hal: pertama, fokus. Fokus CSR adalah pada empat lapisan piramid, dengan penekanan pada kepatuhan hukum dan pertimbangan etis pada tiap tindakannya. Sedangkan greenwash hanya berfokus pada sisi filantrofi, menyumbang berbagai kegiatan lingkungan dan sosial agar terpancar citra kedermawanan pengusaha atau perusahaan.

Inilah yang menjadi kekhawatiran Goenawan Mohamad, bagaimana mungkin dia menerima Bakrie Award, sementara dalam pandangannya masih ada kasus lingkungan dan pajak serta etika politik dari pemilik dan Grup Bakrie.

Perbedaan kedua, tujuan. Perusahaan dengan CSR baik berupaya mensinergikan kompetensi inti dengan sumber daya untuk mencapai visi dan misi perusahaan serta tujuan sosial dengan lingkungan. Sedangkan mayoritas greenwash bertujuan memperbaiki citra atau meningkatkan penjualan.

Contoh yang baik adalah program wirausaha mandiri dari sebuah bank yang mensinergikan bisnis inti sebagai bank dengan upaya menumbuhkan generasi baru pengusaha muda yang mendorong ekonomi nasional. Tapi, jika sebuah bank menanam sejuta pohon dan mengklaim itu sebagai CSR, saya cenderung menganggap itu hanya kegiatan filantrofi yang tak berkaitan dengan rantai nilai perusahaan.

Ketiga, orientasi waktu. Perusahaan dengan kinerja CSR baik adalah yang berhasil menginternalkan secara permanen perspektif tanggung jawab sosial pada semua departemennya. Tidak hanya memasang alat pengolah limbah, misalnya, tapi juga membayar karyawannya sesuai dengan kebutuhan hidup layak atau tidak menyuap pejabat untuk mendapatkan konsesi.

Sementara itu, greenwash mempunyai perspektif jangka pendek. Ada proposal masuk untuk kegiatan Hari Bumi, langsung berminat menjadi sponsor utama. Sifatnya hit-and-run. Tidak ada proses internalisasi komitmen lingkungan dan sosial dalam operasinya.

Keempat, keterlibatan manajemen dan karyawan. Perusahaan dengan CSR baik, dengan komitmen yang dipegang dan dilaksanakan seluruh jajaran manajemen dan karyawan. Divisi keuangan dan SDM, misalnya, aktif mengingatkan karyawan untuk mengurus NPWP dan melakukan kewajiban perpajakannya dengan baik tanpa tax evasion. Greenwash dicirikan keterlibatan hanya pada divisi public relations, marketing, atau yang terkait. CSR dipahami pada peningkatan citra saja.

Kelima, anggaran. Karena embedded di semua lini produksi, perusahaan dengan CSR baik, anggaran tersebar ke seluruh departemen, mulai environment, health & safety, SDM, produksi, logistik, pemasaran, PR, dan seterusnya. Adapun greenwash dicirikan pemusatan anggaran pada departemen PR, pemasaran, atau yayasan yang didirikan khusus untuk itu.

Alat greenwash
Dalam hal CSR, Indonesia sebenarnya “lebay” dalam mengatur CSR. Beberapa kegiatan yang sebelumnya bersifat sukarela (mengurangi laba bersih) sekarang bisa dijadikan biaya. Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyebutkan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai kewajiban yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya, sesuai dengan asas kepatutan dan kewajaran. Sedangkan Pasal 6.1 ayat g, i, j, k, l, m UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 Tahun 2008 memperluas jenis biaya pengurang penghasilan bruto, terutama biaya tidak langsung dan sumbangan, seperti biaya beasiswa, magang dan pelatihan untuk nonpegawai, sumbangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan pembinaan olahraga.

UU PPh ini memang membuka peluang dilakukannya filantropi strategis, yaitu penggunaan kompetensi inti dan sumber daya perusahaan secara sinergis untuk memuaskan kepentingan stakeholder utama dan mencapai sekaligus tujuan perusahaan dan sosial (Thorne, Ferrel, dan Ferrel, 2003). Dengan demikian, perusahaan akan lebih mudah mengelola risiko yang mengancam reputasi perusahaan.

Di sisi lain, ini juga mempermudah menggunakan UU PPh untuk melakukan greenwash. Karena peraturan pemerintah tentang UU Perseroan Terbatas dan PPh belum selesai, masyarakat serta media perlu mampu membedakan filantrofi sebagai bagian CSR atau alat greenwash.

Agam Fatchurrochman, konsultan manajemen di sebuah firma manajemen.

Koran Tempo, 25 Juni 2010.

ESAI: Teologi Sepak Bola

27 Juni 2010

Dudi Sabil Iskandar

Pemuja bola tentu tidak lupa akan El Mano de Dios (“gol tangan Tuhan”) Diego Armando Maradona ke gawang Inggris pada perempat final Piala Dunia 1986 di Meksiko. Gol yang membobol gawang Peter Shiltonitu dilesakkan pada menit ke-51. Karena “gol tangan Tuhan” itu, Inggris harus angkat koper lebih awal dari perhelatan sepak bola terakbar sejagat tersebut.

Wasit Ali Bennaceur (Tunisia), yang memimpin pertandingan, mengesahkan gol tersebut. Dua penjaga garis tidak melihat kecurangan. Sebanyak 114.580 penonton di Aztec Mexico City, Meksiko, terkesima. Ratusan juta penonton di seantero dunia yakin gol itu sah. Ketika pertandingan berlangsung, semuanya tertipu ulah pemain berjuluk “si Boncel” ini. Dunia baru mengetahui gol itu diciptakan oleh tangan kiri Maradona setelah melihat rekaman.

“Sedikit tangan Tuhan. Sedikit lainnya kepala Diego,” elak Maradona. Meski bercanda, pengakuan salah satu pemain terbaik sepanjang masa versi FIFA ini menandaskan, Tuhan selalu ada di dunia sepak bola. Sepanjang 90 atau 120 menit di area rumput seluas 110 x 75 meter itu, Dzat Maha Esa tersebut selalu hidup dan diagungkan.

Sikap dan perilaku pemain sebelum memasuki lapangan rumput menegaskan ada “hegemoni” Tuhan di lapangan hijau. Mereka menyentuhkan telunjuk ke dahi, dada tengah, dada kiri, dan dada kanan bagi pemain beragama Katolik. Atau ketika merayakan gol. Telunjuk diacungkan ke atas (berterima kasih kepada Tuhan) seperti kebiasaan Kaka dan Adriano setelah mencetak gol. Atau perilaku mantan bintang Italia “The Little Buddha” Roberto Baggio, yang kerap merapatkan kedua belah tangannya di dada sebagai simbol ketundukan dalam agama yang dianutnya.

Tuhan adalah prinsip utama dalam agama. Meski tidak tertutup kemungkinan ada pemain yang bertuhan namun tidak beragama. Keyakinan terhadap keberadaan Tuhan menimbulkan implikasi umat beragama berbuat sesuai dengan petunjuk-Nya. Umat beragama diwajibkan berbuat baik bukan hanya di tempat ibadah, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ketika bermain sepak bola. Tidak mencederai lawan, jujur, tidak egoistik, menghargai lawan, dan menghormati keputusan wasit, dalam sepak bola dikukuhkan dengan istilah fair play.

Tentang teologi
Pada awalnya teologi merupakan seperangkat konstruksi pemikiran manusia tentang ketuhanan. Namun pengertian teologi mengalami ameliorasi (perluasan makna) menjadi segenap pemikiran manusia tentang agama. Konsep ketuhanan hanyalah sebagai titik tolaknya. Perspektif teologi modern memotret semua perilaku manusia dalam ranah apa pun, termasuk sepak bola.

Sepak bola, jika mengikuti perspektif sosiolog agama, Robert N. Bellah, tentang civil religion, bisa dikategorikan agama. Civil religion bukan dalam pengertian agama konvensional. Ia merupakan sebuah kepercayaan, kumpulan nilai, dan praktek yang mempunyai teologi dan ritual tersendiri.
Secara tekstual, dalam kitab suci mana pun tidak akan dijumpai kata sepak bola dan fair play. Namun, secara kontekstual, nilai-nilai fair play menunjukkan ketundukan kepada Tuhan (ibadah) dalam arti luas. Artinya, ketika seorang bermain bola, ia pun bisa sedang beribadah. Inilah landasan utama dari teologi sepak bola.

Dengan demikian, jika mengacu pada definisi Bellah di atas, “Code of Conduct for Football” FIFA adalah rumusan teologi sepak bola. Di sana disebutkan, ada 10 prinsip utama dalam sepak bola: 1. Play to win; 2. Play fair; 3. Observe the laws of the game; 4. Respect opponents, teammates, referees, officials and spectators; 5. Accept defeat with dignity; 6. Promote the interests of football; 7. Reject corruption, drugs, racism, violence and other dangers to our sport football’s huge popularity sometimes makes it vulnerable to negative outside interests; 8. Help others to resist corrupting pressures; 9. Denounce those who attempt to discredit our sport; dan 10. Honour those who defend football’s good reputation.

Dalam konteks putaran final Piala Dunia 2010 yang masih berlangsung di Afrika Selatan, pencinta fair play memandang tidak penting siapa yang menang (juara). Sebab, pemenang sesungguhnya adalah kesebelasan yang tidak menghalalkan segala cara untuk menang seperti dilakukan Maradona. Sebab, hal itu tidak hanya mengundang kecaman, tetapi juga menodai kesucian sepak bola serta melanggar teologi sepak bola.

Pentas Piala Dunia boleh berakhir pada 11 Juli. Namun ajaran suci sepak bola bernama fair play harus terus hidup dan diperjuangkan. Ia mesti menembus ruang dan waktu. Menerobos sekat status sosial, etnografi, dan perbedaan budaya. Semuanya sebagai warisan bagi generasi mendatang. Menegakkan aturan main di lapangan hijau merupakan misi suci semua stake holder sepak bola. Bahwa panggung sepak bola merupakan salah satu altar Tuhan di kolong jagat melalui doktrin fair play. *

Pengkaji Teologi dan Penikmat Sepak Bola

Koran Tempo, 27 Juni 2010.

ESAI: Minoritas

27 Juni 2010

Jaya Suprana

Gus Dur memang benar. Ternyata, hidup sebagai minoritas itu susah. Maka, perjuangan Gus Dur membela kaum minoritas di persada Nusantara tercinta ini sungguh luhur.

Di luar pilihan dan kehendak diri sendiri, saya dilahirkan di bumi Indonesia sebagai manusia yang secara antropologis tergolong etnis Cina. Akibat lahir-batin bertumbuh-kembang di keluarga yang bersikap dan berperilaku budaya Jawa, semula saya tidak sadar bahwa berdasarkan statistik populasi Indonesia saya tergolong minoritas.

Semula saya merasa sama saja seperti warga negara Indonesia lain sebab perilaku saya memang lebih berbudaya Indonesia ketimbang Cina. Saya tidak bisa makan pakai sumpit, tidak bisa berbahasa Cina nasional (Mandarin) ataupun dialek, tidak setuju komunisme yang dianut RRCina, lebih mengagumi Semar ketimbang Jilayhud, meyakini Anoman lebih sakti ketimbang Sun Go Kong, dan sukma lebih tergetar di saat mendengar ”Indonesia Raya” ketimbang lagu kebangsaan RRCina yang namanya saja saya tidak tahu. Di saat mendengar alunan lagu ”Indonesia Pusaka”, saya tidak pernah mampu menahan tetesan air mata terharu. Repertoar konser keliling saya di delapan belas negara hanya musik Nusantara tanpa musik Barat apalagi Cina. Pendek kata, akibat yakin bahwa saya warga negara Indonesia sejati, maka saya gigih menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia!
Hanya saat mengurus keperluan administratif, saya baru tersadar bahwa meski de jure sudah resmi menjadi warga negara de facto saya diperlakukan seperti bukan warga negara Indonesia. Terutama saat huru-hara rasialis yang terjadi menjelang ataupun pascareformasi secara berkala, mendadak saya sadar bahwa ternyata saya keturunan Cina.

Meski tanpa salah apalagi dosa —kecuali kebetulan dilahirkan di Indonesia oleh ibunda keturunan Cina—saat huru-hara rasialis memang lebih baik saya menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh para huru-harawan yang mendadak bernafsu ingin membasmi habis mereka yang tampak seperti orang Cina.

Teman-teman suku Manado, Dayak, atau Sunda sebaiknya juga jangan menampakkan diri saat para huru-harawan sedang dalam kondisi amarah membara karena warna kulit dan bentuk mata mereka mirip Cina! Sebaliknya, ayah saya yang kebetulan tidak bermata sipit dan berwarna kulit sawo matang malah selalu aman dan selamat dari angkara murka para huru-harawan anti-Cina.

Nasib
Saya sebenarnya sudah terbiasa sehingga pasrah didiskriminasi sebagai minoritas. Namun, mendadak datanglah Gus Dur ke marcapada untuk membela kepentingan dan menjunjung tinggi hak asasi kaum minoritas yang juga manusia. Dengan gaya tanpa peduli tentangan apa, mana dan siapa pun, Gus Dur membasmi segenap larangan terhadap semua yang berbau Cina. Mulai dari aksara, bahasa Cina, sampai hari raya Imlek. Malah sebaliknya, praktik diskriminasi ras resmi dilarang melalui UU Anti-Diskriminasi Ras.
Berkat Gus Dur, tiba masa habis-gelap-datang-terang bagi kaum minoritas warga Indonesia keturunan Cina. Euforia kegembiraan dan kebahagiaan mewarnai kehidupan warga Indonesia keturunan Cina yang sebelumnya sudah terbiasa didiskriminasi!

Namun, nasib saya sebagai minoritas belum selesai. Ternyata, saya tergolong minoritas di dalam minoritas! Di masyarakat keturunan Cina di Indonesia, juga masih ada diskriminasi. Warga keturunan Cina di Indonesia masih terpecah-pecah menjadi aneka-ragam suku, antara lain Khek, Hok Jia, Konghu, Tiochiu, Hakka, dan Babah. Ada suku yang merasa diri lebih superior ketimbang suku lain, padahal sama- sama Cina. Secara psikokultural, warga keturunan Cina di Indonesia terbagi menjadi kelompok yang menganggap diri asli dan kelompok yang dianggap tidak-asli.

Yang merasa dirinya asli, mengutamakan Tanah Leluhur sebagai tempat asal-usul para leluhurnya, sementara yang dianggap tidak-asli menjunjung tinggi Tanah Air di mana dirinya dilahirkan. Yang merasa asli menganggap dirinya berharkat-martabat lebih tinggi ketimbang yang dikelompokkan tidak-asli.

Naas, ternyata kesukuan saya tergolong ke Babah yang dianggap tidak asli. Ketidak-aslian saya masih diperparah perilaku sikap- pribadi saya yang memang telanjur lebih berbudaya Jawa ketimbang Cina. Keminoritasan pribadi saya di dalam keminoritasan kelompok keturunan Cina di Indonesia makin diperminoritas falsafah hidup saya yang bukan Konfusius, melainkan falsafah Jawa: ojo dumeh.

Alhasil, perilaku bisnis saya terlalu berat dibebani nilai-nilai etika, moral, dan moral hingga saya tidak pernah tega memanfaatkan hubungan pribadi dengan teman-teman yang kebetulan memiliki kekuasaan politik atau militer untuk tujuan bisnis. Tidak mengherankan apabila di antara sesama keturunan Cina, saya dianggap makhluk bo cwan, bo lui, bo jai, yang artinya tidak menguntungkan, tidak mendatangkan duwit, sehingga akhirnya ya tidak berguna!

Lebih parah lagi, akibat lebih membela Tanah Air ketimbang Tanah Leluhur, saya kerap dituduh durhaka, pengkhianat, dan kirno (mungkir cino).
Saya belum sempat curhat tentang nasib keminoritasan di dalam minoritas yang diperminoritas itu kepada Gus Dur sebab sang mahaguru bangsa dan mahapembela minoritas tersebut telah terlalu dini meninggalkan dunia fana ini.

Jaya Suprana Budayawan Indonesia

Harian Kompas, 15 Mei 2010.